Wukuf

12 2 1
                                    


"Mimpi adalah makna sebuah eksistensi."

Nur Afiyyah Asy'ary

*****
Fajar kadzib.

Menatap selarik cahaya di batas cakrawala. Subuh belum lagi tiba, tapi terang itu hanya dusta belaka.

Aku menghitung setiap tapak langkah, mengukir nama-Mu di jejaknya. Mengukur rindu yang tergurat semakin parah di waktu yang tersisa.

Sungguh. Takkan bosan kukagumi tiap jengkal hasil karya-Mu. Meneliti ukiran Wajah, Engkau Yang Maha Indah.

Tak sabar membayangkan, keindahan memandangi-Mu.

Entah sudah berapa jauh tapak alas kaki mengukur tanah.

Yang kutahu, saat ini telah jauh dari kampung halaman. Setelah tujuh kali malam berganti, dan setia menyusuri jalanan seorang diri.

Di kejauhan.

Seorang gadis tengah menangis tersedu-sedu, setelah kulihat dia menampar seorang pemuda. Yang kukira mungkin kekasihnya. Rasa ingin tahu seketika menggoda, memaksaku  mendekat. Mencuri dengar.

"Kamu tega, Yud? Kau biarkan mereka menikmati tubuhku. Saat aku teler karena meminum minuman yang kau berikan. Di mana otakmu? Di mana hati nuranimu? Apa mungkin kau ini monster?" ratap gadis berpakaian serba hitam itu.

Dia duduk memeluk lutut. Menenggelamkan wajahnya yang kacau. Terlihat begitu rapuh dan hancur. Sehancur tatanan rambutnya yang acak-acakan.

Pakaian yang dia kenakan sangat ketat dan nampak kotor, kontras dengan kulitnya yang putih namun tidak terlalu bersih.

Aku semakin dekat. Sedikit mengendap. Mengintai dari dalam gelap. Kutajamkan kedua indera pendengaran yang tengah tertutup hijab.

"Ya, Aku memang monster. Dan kau pun hanya seorang jalang. Kulihat kau menikmati setiap sentuhan mereka.  Cuihh!"

"Kalian mengambil keuntungan saat aku tidak sadar. Bajingan kamu Yud. Kalian semua sakit. Gak waras!" raung wanita muda itu. Isak tangisnya kian menjadi.

Terdengar memilukan. Seperti tangis arwah penasaran.

"Memangnya siapa yang memaksamu ikut kami? Itu kemauanmu sendiri. Ingat itu!" Tidak ada nada belas kasih pada jawaban pemuda brengsek itu.

Astaghfirullah, ampuni kami. Ya Allah ....

Aku mengurut dada yang tetiba dihinggapi rasa nyeri. Teringat akan permata hatiku yang setia menanti. Merasa sangat beruntung memiliki seorang putra yang layak dibanggakan. Sekaligus miris melihat dua anak manusia itu sekarang.

Takdir macam apa yang harus mereka jalani, ya Rabb. Limpahkanlah ampunan dan rahmat-Mu pada mereka.  Tunjukkanlah jalan. Dan terangilah mereka.

Aku tak bisa bergeming lebih lama lagi.

"Apa yang kau lakukan pada gadis ini, Nak?" setengah mati kucoba menahan kesal, berkata dengan suara selembut mungkin.

"Apa urusanmu, wanita tua?" jawabnya dengan gusar.

"Aku tak mungkin berdiam diri, melihat kaumku disakiti. Aku telah mendengar semuanya. Percayalah Nak, Aku bisa membuatmu mendekam di dalam penjara." ancamku padanya.

Apa yang perlu kutakutkan, ketika Tuhan senantiasa bersamaku. Tinggal di dalam hatiku.

Terlihat wajah itu begitu ketakutan. Entah karena gelap malam yang mungkin membuatku nampak menyeramkan. Atau kenyataan bahwa aku telah mengetahui kebenaran yang coba dia rahasiakan.

"Desi, ayo kita pergi!" perintahnya sambil menarik tangan si gadis.

"Nggak! Aku nggak sudi ikut kamu. Aku mau pulang. Seharusnya kudengar kata Papa dari dulu. Kau tak pantas Aku cintai."

Antologi SyehrazataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang