"Kalau besok masih sakit, jangan masuk yah, Jina. Kalau ada apa-apa juga jangan lupa kabari aku. Jangan buat kami khawatir, sehabis ini istirahat dan minum obat yang cukup." Ucap Sonia begitu Jinara turun dari atas motor. Ia menerima helm yang bungsu Aksara itu sodorkan lalu menyimpannya di atas jok.
"Tenang saja, aku gak kenapa-kenapa kok." Jawab Jinara dengan sebuah senyuman tipis yang sengaja ia tampilkan agar Sonia tidak begitu khawatir padanya.
Sonia, gadis blasteran Bandung-Amerika yang merangkap sebagai sahabat Jinara itu terdiam dan memandang wajah pucat sang sahabat. Ia merasa jika Jinara menyembunyikan rasa sakit yang ia derita di balik senyuman tipis itu, membuat ia semakin mengkhawatirkan Jinara. Di tambah, di tempat kerja Jinara beberapa kali mengalami mimisan setelah mengeluh pusing dan sakit kepala. "Ya sudah, sana masuk rumah." Titahnya.
"Iya, bawel. Terimakasih tumpangannya." Ujar Jinara lalu melakukan tos perpisahan pada Sonia. Gadis itu berbalik badan dan berjalan perlahan menuju rumah, meninggalkan Sonia yang masih terdiam di atas motor karena menunggu Jinara masuk ke dalam rumah.
"Assalamualaikum." Jinara memasuki rumah dengan lesu dan tidak bersemangat. Ia mengedarkan pandangannya ke segala sisi untuk mencari keberadaan seseorang namun seperti biasa, ruang tamu begitu sepi.
"KEY AYAMNYA JANGAN DIHABISIN IH," Terdengar suara teriakan dari arah dapur. Itu Jay, yang pasti heboh gara-gara ayam. Disusul dengan suara jatuhnya panci dan juga teriakan Wilnan menyuruh mereka diam.
Jinara berjalan dengan perlahan menuju dapur sembari berpegangan dengan tembok. Badannya terasa sangat lemas dengan kepala yang berdenyut sakit. Semenjak membaca buku Jay tempo hari lalu, setiap bangun tidur Jinara selalu merasakan sakit kepala atau saat ia terdiam, tiba-tiba kepalanya sakit lalu pingsan dan berakhir ia masuk Unit Kesehatan. Hal ini tidak diketahui oleh keluarganya karena Jinara sengaja merahasiakan hal tersebut agar mereka tidak khawatir.
Dari kejauhan, kedua mata Jinara menangkap beberapa sosok yang berkumpul di meja makan dan tengah saling mendorong satu sama lain. Ini menandakan jika para kakaknya sudah pulang dan berkumpul.
"Assalamualaikum." salam Jinara yang sontak menghentikan perdebatan diantara kelima kakaknya itu, mereka serempak menoleh ke arah Jinara yang berdiri di ambang dapur sembari memperhatikan keributan yang terjadi.
"Waalaikumsalam." Jawab mereka serempak bagai paduan suara.
"Eh? Tumben gak pulang malem? Ini baru jam setengah enam loh?" Komen Wilnan sembari mengigit ayam gorengnya. Ia melirik ke arah jam dinding untuk memastikan penglihatannya.
Jinara menggeleng, lalu melanjutkan langkahnya agar ia bisa ikut berkumpul bersama mereka. "Iya, bang."
"Kok lemes gitu? Lagi sakit?" Tanya Jay yang menangkap gerak-gerik mencurigakan dari sang adik.
"Bang Wilnan... boleh adek minta tolong bikinin susu?" Pinta Jinara dengan wajah memelas pada Wilnan yang sedang asyik memakan makanannya.
"Sama Abang aja yah? Kasian Wilnan lagi makan." tawar Sakha, padahal ia sendiri juga sedang melahap makanannya.
"Gak usah, Bima, aelah manja banget. Bikin aja sendiri, sudah gede ini. Punya kaki, kan? Pergunakan dengan baik," celetuk Jay tak suka sembari menatap Jinara sinis.
Jinara mengeryit, rasa sakit di kepalanya tiba-tiba muncul kembali. Ia secara perlahan menyentuh tembok dan bersandar. Perkataan yang Jay katakan itu seolah deja vu dan pernah ia dengar suatu waktu. Kedua tangannya terangkat untuk menyentuh kepalanya yang semakin berdenyut nyeri, ia juga memejamkan matanya erat saat pandangannya tiba-tiba berputar dan tidak bisa melihat dengan jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Kakak + Day6
FanfictionMenjadi satu-satunya perempuan dalam keluarga Aksara tak lantas membuat Jinara diperlakukan bagai ratu oleh kelima kakak laki-lakinya. Apalagi, mereka adalah tipe orang yang sulit mengekpresikan rasa sayang dan cenderung berkelit untuk mendapat perh...