"Cepat pergi dan beritahu ayah dan kakakmu..bawa mereka jauh dari sini"
"Tapi.. bunda banyak darah.. Jinara takut. Nanti bunda gimana?"
"Bunda mohon pergilah Jinara, uhukk..- bunda akan baik-baik saja.."
"Hiks.. tidak mau. Jinara mau sama bunda aja."
"Jinara sayang bunda kan? Cepat lari!!"
"BUNDAAAAAAAAAAAAAAA."
Jinara langsung terduduk dan terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah dan keringat yang membanjiri dahinya. Ia menunduk dan mengusap wajahnya pelan dengan hembusan nafas terdengar dari belahan bibirnya. Jinara menenangkan dirinya dan menggeleng beberapa kali untuk memulihkan pikirannya yang kacau. Mimpi yang sama yang selalu ia dapatkan akhir-akhir ini, namun sayangnya mimpi itu tidak terlalu jelas. Apa gara-gara ia rindu pada bunda sehingga terus memimpikan sang bunda?
"Apa ya itu..? Kenapa ada bunda?" Gumamnya pelan lalu menatap jam di dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul 5 pagi.
Ia lalu menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang dan memijit kepalanya yang tiba-tiba saja sakit. Rasa sakit yang sama saat ia terakhir membaca buku milik Jay beberapa hari lalu. Menurut film yang ia tonton atau cerita yang ia baca, biasanya ciri-ciri seperti ini adalah salah satu tanda ingatannya akan kembali. Tapi Jinara tak menyangka jika rasanya sesakit ini, ini lebih parah dari rasa pusing biasa.
Jinara menjadi berpikir, apa benar, jika ia itu amnesia? Sebenarnya, semuanya masih abu-abu, tidak tau siapa yang benar disini, namun semua bukti menjurus ke satu pernyataan yang jelas jika Jinara memang kehilangan memori masa kecilnya.
"ARGHHH." Jinara menjambak rambutnya pelan, terlalu bingung harus melakukan apa mengingat sepertinya seluruh keluarganya menyembunyikan hal ini. Seketika ia merasa jika hidupnya seperti jalan cerita sinetron saja.
BRAK BRAK BRAK
"BANGUN SEMUA BANGUN." teriakan Sakha terdengar dari luar diiringi dengan suara panci yang beradu yang menandakan jika ia harus segera bersiap untuk sekolah.
Jinara tersenyum tipis saat alarm rumah ini berbunyi, siapa lagi kalau bukan Sakha. Ia lantas bangkit dan menuju kamar mandi. Untuk mengambil air wudhu dan membersihkan diri. Semoga saja mandi air dingin membuat kepalanya segar.
Sedangkan di lantai bawah, lebih tepatnya di dapur. Sudah ada Mahendra yang sudah lengkap menggunakan apron dan peralatan masaknya. Rencananya, ia akan memasak banyak makanan karena keenam anaknya sedang berada di rumah walaupun mereka sedang mempunyai kesibukan masing-masing.
"Ayah? Mau Sakha bantu?" Tawar Shaka.
Mahendra yang sedang merebus air langsung menoleh, di ujung tangga ada Sakha yang sedang memperhatikannya memasak. Ayah enam anak itu tersenyum simpul lalu menggeleng pelan, "Tidak usah. Gimana? Sudah pada bangun?"
Sakha berjalan dan mendudukkan dirinya di kursi meja makan, ia bertumpu dagu dan menghela nafas. "Sudah, malahan sebelum aku bangunin juga mereka sudah bangun, ayah."
"Jay sama Key, gimana?"
"Sedang bersiap, mereka kan pagi ini bakal ada acara."
"Kamu gak capek apa bangunin mereka tiap hari? Suaranya gak serak?"
Putra kedua Aksara itu tersenyum tipis, lalu menggeleng. "Enggak ayah, malahan aku senang. Aku jadi merasakan gimana perjuangannya bunda dulu waktu membangunkan kita semua. Ditambah harus masak sama nyiapin semua peralatan kita"
"Sudah, jangan kembali menyalahkan dirimu sendiri, Shaka." Tegur Mahendra tak suka saat anaknya itu terus mengungkit kejadian lalu.
"Tidak kok yah." Ucap Shaka menyangkal.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Kakak + Day6
FanficMenjadi satu-satunya perempuan dalam keluarga Aksara tak lantas membuat Jinara diperlakukan bagai ratu oleh kelima kakak laki-lakinya. Apalagi, mereka adalah tipe orang yang sulit mengekpresikan rasa sayang dan cenderung berkelit untuk mendapat perh...