Chapter 17

5 4 0
                                    


"Seharusnya, bilang dulu kalau ingin masuk," pesan MJ pada wanita yang di hadapannya.

"Maaf ! Aku tidak tahu jika ada orang disini." Hazalea menunduk malu.

"Kau harus makan malam. Ini, wajib di makan," kata MJ sambil mengeluarkan sebungkus makanan.

"Terimakasih, maaf merepotkanmu,"

Hazalea memilih menyantap makanan pemberian MJ. Selama 15 menit suasana diantara MJ dan Hazalea menjadi beku. Tidak ada yang ingin mencairkan suasa seperti ini.

"Apa kejadian hari ini menyakitkan?" MJ nencoba mencairkan suasana.
Hazalea hanya menunduk, wanita itu bingung harus berkata apa. Hazalea pun akhirnya mengangguk. Tetesan air mata mulai nembasahi wajahnya, seraya menunduk lemah.

"Sepertinya, hal ini pantas untukku," keluh Hazalea.

Hazalea tahu, tidak semuanya baik, tidak semuanya bisa berjalan dengan lancar, tidak semuanya mempunyai hal positif.

"Aku tidak bisa melihat tangismu, tapi aku bisa merasakan jika kau sedang menangis." Ucapan MJ membuat Hazalea terburu-buru menghapus air matanya.

~~~

"Apa yang harus kita bawa untuk makan malam Harcel?" Tanya Jinjin pada Eun woo.

Eun woo hanya diam sambil melihat beberapa makanan di tempat makan asrama.

"Sepertinya makanan hangat cocok untuknya, terutama kimchi hangat ini. Kimchi ini rasanya pedas pasti dia suka, terutama ada sayurnya."  Penjelasan Eun woo membuat Jinjin mengkerutkan keningnya, karena sikap Eun woo seperti orang yang sangat mengenal Harcel.

"Ada apa? Ini kimchi nya," kata Eun woo seraya menghancurkan lamunan Jinjin.

"Kau tau dari mana soal makanan yang akan Harcel makan?" Mata Jinjin berusaha membuat Eun woo jujur.

"Aku hanya menebak." Jawab Eun woo singkat.

Bagaimanapun Jinjin masih penasaran dengan sikap Eun woo barusan. Eun woo seperti peramal yang bisa menebak kesukaan orang. Aneh, tapi Jinjin berusaha melupakannya. Mana mungkin Eun woo bisa mengenal Harcel dengan sangat dekat, mereka saja jarang bicara.

Ruang melukis khususnya Harcel terdapat pada bagian belakang asrama, lebih tepatnya di sebelah kebun. Ruang itu khusus dibuat oleh ayahnya, karena ayahnya tau Harcel adalah anak yang suka penyendiri, menghabiskan waktunya sendiri, bisa dilihat dari sikap nya yang tidak banyak bicara.

Ruangan melukisnya saat ini sedang kosong, bahkan pintu masuknya tidak terkunci. Kata sang penjaga kebun, "Beberapa menit yang lalu Harcel kemari, tetapi ia pergi lagi tanpa mengunci pintunya."

Ruangan yang begitu berantakan, beberapa bekas lukisan dan cat berserakan di lantai. Ruangan itu seperti habis di terjang angin kencang yang ntah dari mana datangnya. 

Walaupun tidak ada Harcel, Eun woo dan Jinjin masih memperhatikan lukisan-lukisan yang tertempel di dinding ruangan ini. Seketika mata Eun woo membesar melihat sebuah lukisan dengan menampilkan pohon setengah badan. Di bawah pohon itu, seorang wanita duduk dengan santai.

~Ternyata Harcel masih menyimpannya.~ batin Eun woo seraya menampilkan senyuman manisnya.

"Harcel tidak disini, sebaiknya kita cari ketempat lain saja," usul Jinjin. Eun woo pun mengangguk.

Akhirnya mereka memilih untuk pergi menjelajahi ruangan di sekolah. Langkah Eun woo terhenti di sebuah lapangan basket tertutup, dengan lampu yang hidup. Eun woo bisa melihat dengan jelas seorang wanita sedang duduk ditengah lapangan sambil menatap  keranjang basket.

"Itu Harcel, sebaiknya aku mengawasi Winter di asrama." Eun woo lebih memilih untuk pergi, sebenarnya ia ingin menyelesaikan masalahnya dengan Harcel, tapi tidak sekarang.

Jinjin melangkahkan kakinya ke arah Harcel. Harcel yang mengetahui kedatangan Jinjin merasa pria itu sudah menghancurkan lamunan nya.

"Jinjin-shi? Ada apa?" Tanya Harcel.

"Aku ditugaskan untuk mengawasimu," kata Jinjin.

"Kenapa harus diawasi?"

"Mr. Suho takut kalian kabur dari sekolah,"

Harcel hanya mengangguk.

"Sepertinya pikiranmu sedang dingin. Biasanya jika seseorang sedang dalam permaslahan cinta, dia akan menangis." Seru Jinjin.

"Untuk apa menangis. Lagi pula tidak ada gunanya mencintai seseorang tapi selalu merasakan sakit, lebih baik melupakan dari pada selalu tersakiti," jelas Harcel dengan lemas

~lagi pula ini semua salahku untuk apa mencintai seseorang tapi akan tersakiti juga nantinya. Betul apa kata Autumn, tidak ada yang baik selain melupakan perasaan ini.~ batin Harcel.

"Kenapa serius sekali menatap keranjang basket itu?" Jinjin masih memperhatikan mata Harcel.

"Aku tidak bisa bermain itu!" Jawab Harcel sambil menunjuk keranjang basket dengan telunjuknya.

"Aku akan mengajarimu! Tapi setelah ini kau harus makan!" Seru Jinjin di ikuti dengan senyumanya.

Jinjin segera bangkit dari duduknya untuk memperlihatkan keahliannya. Tangan serta badannya tampak lincah bermain bola basket. "Bagaimana jika aku saja yang bermain?" Tanya Harcel.

"Tapi,,,,,, baiklah!"

10 menit kemudian,,,,
"Kenapa bolanya tidak ingin masuk? Apa aku yang terlalu pendek?" Seru Harcel. Dari kejauhan Jinjin hanya bisa tertawa.

"Semua itu ada caranya! Lihat ini," Mata Harcel terus memandangi bola basket itu.

"Baiklah sekarang!" Jinjin menyerahkan bolanya pada Harcel.

"AKU BISAAA! Kau lihatkan? Aku bisa!!" Jinjin hanya tersenyum melihat tingkah laku wanita yang ada dihadapannya.

"Baiklah, sekarang kau harus makan." Jinjin mengeluarkan makanan yang dibelinya.

"Huh? Kau tahu dari mana kalau aku suka kimchi pedas? Ada sayurnya juga."

"Sungguh!" Jinjin mengkerutkan keningnya. Wanita itu hanya mengangguk.

~Apa benar eun woo menebaknya? Tapi,,, kenapa tepat sekali? Arghhh! Apa yang kau pikirkan kan?~ batin Jinjin.

"Itu,,,, eun woo yang memilih. Katanya ia hanya menebak." Mendengar penjelasan Jinjin, Harcel berhenti melahap makanannya.

~Eun woo? Apa dia masih mengingat semua tentangku?~ Harcel

Uncertain LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang