"Untuk kali ini materi yang akan kita bahas adalah Limit fungsi."
Seisi kelas hanya mengangguk patuh, mengiyakan kalimat pembuka yang sejujurnya sangat membosankan.
"Apa yang kalian tahu tentang Limit?" Tanya guru matematika itu dengan wajah datar yang makin menambah rasa bosan penghuni kelas MIPA 1.
Jika ini merupakan episode dari kartun Oscar oasis, ataupun spongebob squarepants, mungkin sudah ada rumput yang menggulung lewat tersapu angin karena sepi dan membosankan. Tapi ini kelas dan ini dunia nyata jadi hanya ada lirikan dari beberapa siswa yang mengode untuk sekadar menyuruh salah satu dari kelompoknya menjawab. Walaupun hasilnya nihil. Kelas masih saja diam.
"Tidak ada yang bisa menjawab?"
Kelas masih saja hening. Entah bagaimana bisa kelas MIPA unggulan terisi penuh dengan makhluk ajaib yang rasanya tidak pantas disebut murid MIPA. Alsa dan Sasa dengan ketulalitannya, Cabe-cabean tukang make up layaknya anak hits kebanyakan, Adam and the genk buangannya, dan beberapa murid konyol yang seringkali konser dangdut dadakan di kelas. Dan yah, entah bagaimana bisa golongan-golongan aneh seperti mereka disatukan dalam kelas MIPA terunggul?!
"Limit itu batas pak,"
Suara kecil mengintrupsi seisi kelas untuk menolehkan kepala ke arah pojok belakang. Ups! Satu orang terlupakan di sini. Dia Akvi. Cewek ternormal dan ter-anteng di kelas. Rasanya hanya dia satu-satunya murid yang pas disebut MIPA, baik secara sikap maupun otaknya. Dan kalian pasti paham bagaimana nasibnya di kelas, dia sendirian karena memang dia terkesan membatasi dirinya sendiri dengan seisi kelas. Entah takut berubah mengikuti gaya teman lain, atau memang tak nyaman untuk menyatu dengan orang lain, yang jelas Akvi benar-benar sosok suci di kelas MIPA 1.
Guru matematika itu lantas tersenyum. Puas, ternyata masih ada satu muridnya yang mendengarkan dan peduli terhadapnya.
"Ya, benar. Limit itu batas. Batas bagaimana yang dimaksud?"
Pertanyaan lagi keluar dari guru datar tersebut. Alsa yang biasanya mendengarkan hanya bisa mendengus keras. Merasa jenuh dan bosan sendiri dengan guru yang sayangnya tidak begitu menyenangkan layaknya guru lain. Alsa melirik sekilas ke arah Sasa yang tengah menatap lurus guru tersebut dengan raut wajah serius. Alsa kembali jenuh, dia memilih menyandarkan kepalanya nyaman pada sandaran kursi. Mencoba tidak peduli dengan pelajaran kali ini.
Belum juga lehernya menempel di sandaran kursi, ucapan guru datar matematika a.k.a Pak. Sul, kembali mengintrupsi seisi kelas termasuk Alsa.
"Kalau dalam kehidupan manusia, Limit atau batas yang dimaksud itu misalnya saja saya memakan seafood sehari sebanyak 0,5 kg. Ternyata saya masih baik. Hari selanjutnya saya makan 1kg ternyata badan saya panas dan gatal. Hari ketiga, saya kembali makan seafood 0,9 kg dan ternyata baik. Jadi, batas maksimal saya makan seafood adalah 0,9 kg."
"Apa kalian paham?"
Seisi kelas mengangguk tidak begitu peduli paham atau tidak. Yang terpenting adalah, jam pelajaran segera berakhir.
"Apa disini ada yang bermasalah?"
Alsa yang semula memejamkan mata, lantas membelalak sedikit kaget dengan pertanyaan Pak Sul yang sejujurnya membuatnya tertarik.
"Atau ada yang memendam masalah?"
Alsa sekarang menegakkan tubuhnya, kembali segar dengan pernyataan--atau pertanyaan ya? Ah entahlah--Pak Sul yang cukup menyindir dirinya, eh?
"Jika ada, belajarlah memahami Limit! Ingat, matematika itu berguna dalam segala hal. Limit itu batas. Untuk kalian, siapapun yang memiliki masalah atau tengah memendam masalah, cobalah untuk membuka diri untuk sekadar mengutarakan cerita panjang kalian kepada orang lain. Kenapa? Karena kalian memiliki batas maksimal untuk sabar memendam masalah, kalian memiliki batas untuk diam, kalian memiliki batas untuk memikul beban berat sendirian."
Entah kebetulan atau bagaimana, Pak Sul menatap ke arah Alsa dengan tatapan datarnya.
"Kalian mempunyai rasa lelah yang pantas untuk diistirahatkan. Ingat, sabar, kesal, dan beban kalian mempunyai batas maksimal untuk kalian pikul sendiri. Cobalah untuk berbagi cerita, walaupun mungkin itu sulit untuk kalian lakukan,"
***
Alsa hanya bisa diam di dalam kamar. Masih mencoba merenung dengan kalimat ajaib yang diucapkan Pak Sul yang dicampur dengan embel-embel matematika.
Batas,
Apa iya Alsa harus mengurangi pikulan beban yang selama ini disimpannya sendirian? Tapi pada siapa? Memangnya ada orang yang mau mendengarkan curhatan panjang tentang kehidupannya?
Masalah dengan BK pun belum selesai, dan sekarang Pak Sul sudah sukses membuatnya galau dengan mantra ajaib yang dihubung-hubungkan dengan ilmu matematika.
"Argh!! Alsa capekk la!!" Alsa memeluk Lala frustasi. Kesal sendiri dengan pikiran yang rasanya benar-benar bercabang kesana kemari. Masih dengan rasa pusing karena masalah yang makin bercabang layaknya resto yang akan berkembang, indra pendengarannya malah disuguhkan dengan suara bising motor milik tetangga. Bukannya kesal ataupun marah, Alsa justru keluar lantas menghampiri suara tersebut dengan sedikit riang.
"Anhar!"
Yang dipanggil lantas mengernyit. Terlebih Alsa tiba-tiba bertengger di jok belakang motornya yang baru saja selesai dicuci. Entah apa maksud dan tujuannya melakukan hal tersebut.
"Alsa pengen jalan! Pengen ngomong sesuatu,"
Raut wajah Anhar berubah panik dan terlihat aneh dimata Alsa. Wajah Alsa yang semula cerah ceria kini sedikit muram.
"Maaf Sa, gue mau pergi. Ada urusan lain."
Alsa lantas turun dari motor Anhar dan tersenyum kecut masih menatap Anhar yang masih merasa tidak enak.
"Maaf ya, gue pergi dulu Sa. Bye!" Ucapnya mengakhiri obrolannya dengan Alsa. Meninggalkan Alsa yang makin kacau, masih dengan beban berat yang belum juga berkurang.
"Mungkin emang Alsa salah, dekat kalau butuh aja."
***
"Pagi ini Ayah beliin aku apel seperti biasanya. Aku lantas memakannya lahap dengan senyum lebar, benar-benar menggambarkan kebahagiaanku karena bisa melakukan hal sederhana tapi bermakna karena bersama Ayah. Tapi entah kenapa, tatapannya berubah tajam tanpa alasan apapun. Aku yang masih sibuk memakan lantas berhenti.
Ayah marah.
Suaranya meninggi. Umpatan keluar begitu saja dari mulutnya. Dan aku hanya bisa menangis. Menundukkan kepala, mendengarkan semua amarahnya.
Dan yang lebih menyakitkannya lagi, bukan bentakan keras atau umpatan yang keluar dari mulutnya. Melainkan kebenciannya terhadap karakterku yang menurutnya terlalu ceria. Dan itu cukup membuatku bingung dan yang jelas aku benar-benar terpuruk karena ucapannya.
2015
B.A"Tangannya menutup buku kecil itu dengan keras. Hatinya terbawa emosi, membaca rentetan kata yang sudah sejak lama diikutinya. Benar memang, tulisan lebih bisa menyentuh perasaan seseorang.
Entah siapaoun orang yang menuliskan ceritanya dalam buku kecil ini, yang jelas, dirinya benar ingin menemui. Memeluk. Bahkan berterimakasih, karena menyadarkan dirinya, bahwa masih ada orang lain yang memiliki masalah lebih dari apa yang dialaminya.
***
Uuuwuuuuuu...
Teka teki teka teki
Masalah limit abaikan ya buat materinya. Kalau salah yaaaaa maklumi lah. Saya bukan guru🙃Stay tuned ya sama part selanjutnyaa!! Semoga teka teki dari part-part sebelumnya bisa terungkap--ya jelas lah terungkap!--secepatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Introvert?
Teen FictionDia menjadi dirinya sendiri. Menjadi seorang Alsava Beatarisa, sosok remaja yang benar-benar membentengi dirinya dari dunia luar. Seolah menjadi Rapunzel yang hidup dengan bunglon kecilnya bernama Pascal di dalam sebuah menara tinggi. Jika Rapunze...