18.

2K 240 15
                                    

Langkah kakinya mantap dan lebih lebar dari biasanya. Berjalan sendirian menelusuri gang, menuju jalan besar tempat lewat angkot yang berlalu lalang. Ada rasa marah. Entahlah ini memang marah kecewa atau apa pun itu, Alsa sendiri tidak tahu. Mentari yang makin terik seolah mengejek hatinya yang tengah mendung.

Posisinya sekarang sangat sulit. Alsa berteman atau malah hampir menjadi sahabat dengan seseorang yang malah lebih diperhatikan oleh Ayahnya sendiri. Memang belum jelas bagaimana bisa ayahnya lebih dekat dengan temannya itu.

Waktu 3 tahun nyatanya benar-benar membuat Alsa lupa akan segalanya tentang Ayah. Yang menyebalkannya lagi, seseorang yang lebih tahu tentang ayah justru seseorang yang belum lama ini dia anggap teman bahkan hampir menjadi sahabat.

Air mata yang belum juga turun membuatnya makin kesal. Jalan yang dilaluinya kian tak jelas. Seperti masalahnya yang kian rumit.

Bisakah semesta membiarkannya bahagia sebentar?

Bisakah semesta membuat skenario yang tidak semenyakitkan ini?

Kawan yang dia anggap benar-benar kawan, nyatanya malah semacam memberi luka yang hampir sembuh terbuka kembali.

Ok. Alsa tak ingin menyimpulkan bahwa dia benci. Emosi nyatanya malah membuat masalah semakin rumit, seberusaha mungkin, dia mengambil keputusan dengan bijak nantinya saat dia merasa lebih baik. Tapi emosinya tak bisa terkontrol lagi.

Langkahnya berhenti tepat di tepi jalan. Menunggu angkutan umum yang entah kapan datangnya.

Dia benci dengan ketidakpastian. Tapi mau bagaimana lagi?! Pulang merangkak dengan isak tangis?! Atau malah ngengsot agar betisnya membentuk pola abstrak karena gesekan aspal?!

Belum juga angkot datang, baru juga air matanya mengalir. Ayahnya malah mendekat ke arahnya. Semesta benat-benar tengah menyiksanya kali ini.

"Alsa?"

Alsa hanya diam. Mengusap air matanya perlahan agar tidak diketahui Albar sialan.

"Kamu nangis sayang?"

"Sialan memang. Basa basi yang terlalu basi! Sebenarnya anaknya itu dia atau Alsa?!" Ucapnya dalam hati dengan tenggorokan yang cukup sesak.

Angkot yang ditunggunya malah mendukung Ayah untuk terus mendekat ke arahnya. Waktu bahkan seolah melambat, bahkan kendaraan yang sejak tadi lewat mendadak menyepi seolah menghargai usaha Albar.

Skenario macam apa lagi ini ya Tuhan?!

"Maafin ayah. Ayah gak bermaksud nyakitin kamu sayang," ucap Albar dengan nada lemah, atau sengaja dibuat-buat.

"Pergi aja. Alsa mau pulang." Alsa menarik napas perlahan. Menahan sesak ditenggorokannya agar tidak keluar sekarang. Sakit memang, dengan susah payah dia tahan rasa sakit itu. Berusaha memperlihatkan pada ayahnya bahwa dia bukanlah anak perempuan yang lemah.

"Ayah lanjut makan aja. Sasa lebih butuh sosok ayah." Lanjutnya. Air mata keluar begitu saja. Tapi buru-buru dia usap. Tak ingin memperlihatkan kelemahannya.

Beberapa detik berlalu, tak ada jawaban apapun dari Albar. Dengan kepala yang berat, Alsa menoleh ke belakang. Dan yah, air matanya kembali menetes, kian deras. Jalan yang dia tatap tak lagi jelas. Ayahnya telah menghilang dari pandangan.

Dan ya, lukanya kembali terbuka lebar. Semesta kembali mempermainkannya.

***

"Lo harus menghadap sama Alsa sekarang!!" Teriak Adam dengan lantang. Tangannya menarik-narik telinga seseorang yang dibawanya. Orang itu hanya mengaduh sambil berusaha melepas telinganya yang mungkin saja sudah memerah.

"Ngapain sih lo bawa gue kesini?! Lagian apa hubungannya sama tu bocah?!!" Jawabnya ngegas. Kesal dengan Adam yang gaje, denga tiba-tiba menyeretnya sampai ke depan rumah Alsa.

"Ihh gak usah sok bodoh deh lo ya, eh cyin gue udah tahu lagi gelagat lo!" Jawab Adam dengan tarikan telinga maut yang biasa dia berikan pada siapapun yang jahil terhadapnya.

"Awww!! Anjir sakitt. Lo sohib gue bukan sih?!!"

"Sekarang bukan. Karena lo itu hasil dari teka-teki yang Alsa minta! Misi gue hampir sele- Lah?! Alsa lo kenapaa?!" Penjelasan yang semula Adam ucapkan pada tersangkanya itu terhenti kala matanya melihat Alsa pulang dengan mata sembab dan raut wajah yang murung, lebih-lebih murung saat kodoknya mati kelaparan.

"Alsa lo kenapa?!" Tanyanya bingung. Tangannya bahkan tak segan mengguncangkan bahu Alsa keras. Sementara tersangkanya yang masih bingung hanya menatap adegan itu dengan kepala miring serta pikiran yang masih melayang-layang. Bingung dengan semua ini.

Tanpa aba-aba. Alsa memeluk Adam erat. Melepaskan sesaknya yang tertahan di angkot penuh yang bau tadi. Melepas air matanya dipelukan Adam.

Adam yang kaget hanya menganga lebar. Bingung dengan semuanya. Matanya melirik-lirik ke arah tersangkanya yang juga dibuat bingung. Bahkan lebih bingung karena belum bisa mencerna semua kejadian ini.

"Adaamm ... gak usah cari mi-si kedua," ucap Alsa dengan sesenggukan. Masih menangis dipelukan Adam. Dan yah perlu dijelaskan. Mereka berpelukan di depan rumah Alsa, di tengah jalan, biasa dilewati para bang ojek yang Alsa naiki. Untung sepi.

"Lah kok?!" Adam masih bingung karena Alsa terus menangis tanpa menjelaskan semua dengan detail.

"Alsa udah tahu jawabannya." Balasnya sambil melepas pelukan. Senyum simpul menjadi akhir pembicaraan mereka. Alsa lantas masuk begitu saja meninggalkan dua cowok yang masih bingung di tempat.

Terlebih satu cowok yang berstatus sebagai tersangka versi Adam. Dia hanya bingung. Beberapa menit tadi menjadi penonton adegan menye-menye Alsa dan Adam.

Apa gunanya dia di sini woy thor?!!

***

Double up!!
Suka gak?
Btw keknya kurang greget ya?

Bisa kasih saran? Ada yang kurang atau gimana?
Stay tuned ya lusa atau lusanya lagi😆

Bakal terjawan deh.
Vote and comment ya readersku💕💕💕

Introvert?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang