Kalian tahu apa yang menyebalkan ketika pulang sekolah dengan menggunakan angkutan umum, selain desak-desakan dengan siswa-siswi lain?
Bau!
Angkutan umum yang terisi penuh dengan penumpang di siang bolong seperti ini, dengan terik yang memaksa keringat keluar secara berlebih, sukses membuat Adam menyesal kali ini tidak membawa motor. Terlebih yang disesalinya adalah, dia merasa menjadi satu-satunya lelaki yang berstatus penumpang di dalam angkot. Dan 2 laki-laki lain tentu saja kalian paham siapa.
Karena menjadi satu-satunya penumpang laki-laki, dengan terpaksa Adam mengalah dengan menaiki angkot di ambang pintu. Duduk sendirian dengan wajah tertunduk malu karena sebagian pengendara lain memerhatikannya. Ok, untuk kali ini dia lebih malu dibandingkan dengan kejadian naik angkot bersama Alsa.
Matanya melirik sekilas ke arah depan, memerhatikan gang-gang komplek yang telah dilewatinya. Napasnya melengos begitu saja, menyadari tujuannya kini lebih dekat lagi. Adam merasa lega karena penderitaannya akan berakhir sebentar lagi.
"Bang kiri depan!" Teriaknya mengintrupsi kernet angkot untuk mengetukkan atap angkot dengan keras, melawan dentuman kendang yang menggema dipengeras suara angkot yang sejujurnya sangat tidak mengenakkan telinga.
Adam memberikan uangnya asal, langsung turun begitu saja. Satu cewek mungil diam-diam mengekor di belakangnga. Diam tanpa mengucap kalimat basa-basi yang mungkin saja Adam benci.
Adam yang bukan termasuk dalam golongan cowok tidak peka, lantas berbalik. Menatap cewek itu dengan kening berkerut. Yang ditatap hanya diam dan anteng tanpa berbicara.
"Tumben lo diem. Kenapa?" Tanya Adam heran. Dalam hati, memang dia merasa cukup senang dan tenang. Tapi siapa yang tidak merasa aneh ketika melihat orang yang biasanya hiperaktif, kini berubah menjadi diam layaknya sebuah batu.
Alsa lantas mengembuskan napas panjang. Lebih tertarik menatap sepatunya daripada menjawab keingintahuan Adam.
"Yeu ini bocah. Gue balik duluan. Awas ati-ati nanti ketabrak tukang ojek."
Adam melengos begitu saja meninggalkan Alsa, tanpa menunggu rengekan ataupun jawaban dari Alsa. Kaki panjangnya lantas melangkah yakin, kepalanya bahkan sama sekali tidak minat untuk menengok ke belakang lagi untuk memastikan Alsa.
Merasa terabaikan, Alsa lantas lari mengejar Adam. Menarik tangannya agar dia bisa menatap cowok itu dengan jelas.
"Adam bisa bantu Alsa? Please bantu selesain misi Alsa ya?!" Ucapnya dengan sekali tarikan napas.
Adam tak lantas berekspresi. Wajahnya tetap datar tanpa ada rasa penasaran lagi dengan apa yang dilakukan cewek mungil yang sekarang ada di depannya. Tapi kalaupun tidak bertanya, bagaimana Adam akan mengiyakan atau menolak hal tersebut. Tapi tunggu ...
"Ini bukan paksaan kan ya Sa?" Tanyanya bodoh.
"Adam harus bantu!! Gak boleh nolak. Nanti sore, abis ashar, Adam harus ke rumah Alsa. Kita bahas misi pertama kita! Ok?"
Alsa lantas pergi tanpa menunggu jawaban Adam. Dia percaya bahwa tetangga jauhnya itu tak akan menolak, toh paling rasa penasaran sudah bergentayangan di kepalanya sekarang.
"Kan. Harusnya gak nanya. Jadi penasaran kan." Helaan napas mengakhiri kalimatnya. Langkah yang semula yakin, kini memelan. Wajah kusut hadir kembali setelah pergi terbawa angkot. Dan sekarang, Alsa telah mengembalikannya lagi.
Dan lagi.
***
"Dateng gak dateng gak dateng gak dateng,"
Kancing baju terakhir memberikan takdir bagi Adam. Dengan pilihan datang yang diputuskannya lewat hal konyol yang mungkin saja masih sering dilakukan orang lain juga.
Ok, Adam akui rasa penasaran itu masih ada. Cewek itu akhir-akhir ini memang lebih terlihat kalem, tapi tetap saja menyebalkan ketika berada dihadapannya.
Seperti tadi misal, tiba-tiba meminta bantuan tanpa babibubebo.
"Udahlah paling misi beli Lala baru kali ya? Atau little lalanya butuh sodara?"
Dengan setengah hati, Adam lantas pergi meninggalkan rumah. Memang, dia tidak begitu niat sekarang. Tapi ada rasa penasaran yang harus selesai sekarang dan dia tentu saja tak ingin digentayangi rasa penasaran secara berlebih. Meskipun Adam ini tergolong cowok yang cukup bad lah ya, tapi dia masih punya rasa peduli. Walaupun kadarnya untuk Alsa hanya sekitar 5% saja.
Tanpa sadar, rumah Alsa sudah ada di depan mata. Adam lantas masuk begitu saja ke halaman depan. Menekan bel pintu pelan. Alsa lantas membukakan pintu dengan wajah datar. Mempersilahkan Adam untuk duduk di sofa empuk yang sejujurnya jarang didudukinya.
"Jadi?"
Alsa tersenyum. Cukup senang ternyata Adam mau membantunya kali ini.
"Bantu cari buku diary Alsa yang hilang. Ya?"
"Itu aja? Paling juga dikamar. Udah diubrak-ubrak belum kamar lo?"
Alsa mengangguk.
"Ketemu."
Alsa menggeleng secara spontan.
"Ilang kapan?"
"Lama tau Dam. Makannya Alsa pengen cari lagi, kangen soalnya."
"Selain itu apa lagi? Sekalian ngomong."
"Bantu Alsa maafin Ayah. Tapi sebelumnya ..."
Adam mengerutkan keningnya, bingung.
"Kenapa?"
Alsa melirik ke arah lain, berusaha menghindari tatapan Adam. Ada rasa canggung dan bingung, ingin menyampaikan semua tapi rasanya ini terlalu cepat. Tapi mau bagaimana lagi, lagi pula tidak ada orang lain yang bisa membantunya selain Adam.
"Cari alsan Ayah kenapa benci Alsa dan ninggalin Ibu gitu aja."
***
Sedikit aja. Btw kayaknya gak jadi selesai dalam beberapa part. Mungkin bakal aku panjangin deh ceritanya😆
Sedikit aja ya.
Obat kangenKalau ada yang kangen tapi
KAMU SEDANG MEMBACA
Introvert?
Teen FictionDia menjadi dirinya sendiri. Menjadi seorang Alsava Beatarisa, sosok remaja yang benar-benar membentengi dirinya dari dunia luar. Seolah menjadi Rapunzel yang hidup dengan bunglon kecilnya bernama Pascal di dalam sebuah menara tinggi. Jika Rapunze...