“Jadi, sebenarnya apa hubungan kak Fira sama Afandi?”
Fira melirik Fara yang sedang menatapnya dengan wajah aneh—terlihat penasaran dan tidak nyaman secara bersamaan—dengan alis mengerut dalam. Mengapa dia bertanya hal aneh semacam itu? Namun, melihat betapa serius ekspresi dari adiknya itu, Fira hanya menghela napas lalu kembali membaca modul di tangannya.
“Tidak ada. Hanya teman sekelas yang kebetulan satu kelompok dalam lomba.”
“Kalau begitu, kenapa kalian bertukar pesan semacam ini? Untuk apa dia mengirim judul-judul ini? Apa terjadi sesuatu selama kakak di perpustakaan dengannya? Ini aneh!”
Fira menghela napas. Adiknya jadi lebih cerewet hari ini. Akhirnya, daripada meladeni adiknya yang sedang hiperaktif hari ini, Fira memilih berbaring membelakanginya. Tidak ingin mendengar satu-dua hal aneh pertanyaan aneh darinya. “Sudah. Lakukan saja yang kuminta.”
Awalnya, malam ini menjadi malam yang biasa untuk Fira dan Fara. Seperti biasa, adiknya itu akan menengok ke kamarnya, biasanya hanya untuk menceritakan apa pun kegiatan Fara selama di sekolah. Namun, Fira teringat daftar lagu-lagu yang ia minta dari Afandi.
Sudah beberapa hari sejak itu, tapi dia belum juga melakukan sesuatu pada daftar itu. Masalahnya, Fira termasuk orang yang tidak terlalu suka mengikuti perkembangan zaman—mengeluh tentang betapa banyaknya fitur online seperti orang tua jadul. Dia selalu mengandalkan Fara selama ini. Yang dia tahu hanyalah cara menelepon dan menggunakan internet. Dan berkat hal itu, dia kebingungan dengan bagaimana cara mengunduh musik dari internet.
Akhirnya, malam ini, saat Fara terlihat baik-baik saja dan tidak kelelahan, Fira memintanya untuk mengunduhkan lagu-lagu di daftar itu. Entahlah. Fira ingin kembali mendengarkan lagu itu lagi. Meski terdengar agak jadul, Fira cukup menyukai nada yang terdengar. Juga, ada sedikit sentilan rasa usil dipikirannya. Ia ingin mengatai selera lagu Afandi dengan menyanyikan lirik lagunya di depan laki-laki itu.
Yah, itu pun kalau dia akan bertemu Afandi dalam waktu dekat. Pasalnya, sudah dua hari Afandi tidak bisa ke perpustakaan saat pulang karena kesibukannya. Entah mengapa hal itu sedikit mengganggu pikirannya. Padahal, Fira harusnya senang. Laki-laki yang suka menyuruh dan menceramahi layaknya ibu-ibu itu tidak datang untuk mengganggu tidurnya. Seharusnya begitu. Namun, entah mengapa, ada rasa menggelitik di perutnya. Seakan, hal tersebut sangat disayangkan.
Baiklah, Fira akui dia memang semakin aneh akhir-akhir ini.
Fira mulai memperhatikan sekitarnya. Apa yang terjadi di sekitarnya; kegiatan kedua orang yang paling dekat dengannya—Fara dan Faiz, juga apa yang sering dilakukan teman sekelasnya. Matanya yang biasa selalu tertutup itu kini mulai tahan tidak tidur selama jam kosong. Meski pada akhirnya dia ulir-uliran dengan kepala di atas meja, matanya masih awas memperhatikan, mencuri dengar apa yang orang bucarakan di bangku sebelah.
Yah, hal itu tidak bisa dibanggakan juga, sebenarnya. Karena pada akhirnya, tidak ada yang mengajak Fira bicara--sama seperti biasanya. Fira tetaplah Fira yang selalu sendirian di kelas. Tanpa teman untuk berbincang. Menyedihkan? Mungkin, memang menyedihkan. Dibandingkan dengan Fara yang punya jangkauan pertemanan luas hingga di luar jurusannya, Fira hanyalah kerikil di pinggir jalan.
Hem, tapi bukan hanya dia yang menyedihkan.
Fira mengetahuinya setelah memperhatikan Afandi. Begitu aktif dalam belajar, efektif dan penuh pertimbangan dalam melakukan sesuatu, juga pekerja keras jika sesuatu telah ditugaskan padanya. Namun, entah mengapa, dia tidak memiliki teman yang benar-benar bisa diajak mengobrol. Kegiatannya saat istirahat adalah belajar di dalam kelas, dan memakan bekal yang di bawa dari rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Love Calls [END]
Teen FictionFira tahu, membuat relasi dengan orang lain hanya akan membuat luka lamanya kembali bangkit, hingga ia menarik diri dari orang lain. Meski begitu, beberapa orang keras kepala berhasil menerobos masuk ke dalam hatinya-menghancurkan pagar pembatas dan...