Part 21.1: when love calls she to get catched like a rat by them

354 56 12
                                    

Kebanyakan, mimpi Fira tidak memiliki arti penting. Kadang, ia akan memimpikan dirinya sendiri sedang bersantai tanpa ada yang mengganggu. Kadang ia bermimpi sedang membaca atau melihat adiknya sedang tertawa. Kadang juga, ia memimpikan dirinya yang sedang tertidur. Tidak ada artinya, bukan? Namun, sungguh. Fira lebih menginginkan mimpi remeh seperti itu daripada mimpi yang mengingatkannya pada masa lalu.

Otak bawah sadar yang merekam kejadian mengerikan itu secara berurutan, sama sekali tidak membiarkannya tenang. Kadang kalau ingatan itu terputar di kala tidur, maka akan menjadi mimpi buruk yang membuatnya sulit tidur setelah terbangun di tengah malam. Ketakutan akan menggelayuti. Terutama, ketakutan akan kehilangan sesuatu yang berharga untuknya.

Hal itulah yang membuat Fira terkadang berpikir, untuk apa memiliki sesuatu yang akhirnya akan meninggalkannya? Fira sepenuhnya tahu ia pengecut. Itulah adanya dia. Namun, ia tidak ingin adiknya juga menganggap dirinya begitu. Ia ingin Fara bisa mengandalkannya sebagai kakak yang kuat, dan bisa jadi sandaran. Karena itulah Fira selalu mencoba menghindari ketakutannya—memiliki hubungan dengan orang lain—dengan bersikap malas.

Malas untuk berteman? Sebenarnya salah. Fira hanya takut teman-teman akan meninggalkannya, ketika Fira sudah berharap banyak. Malas untuk berinteraksi dengan orang lain? Salah. Fira hanya terlalu lelah. Dia tidak ingin dikhianati sekali lagi. Dia tidak ingin menangis kalau ditinggal lagi.

Namun, bersamaan dengan sebuah tekanan yang mampir di bahunya pelan, Fira membuka mata perlahan dan mendongakkan kepala, hingga melihat wujud dua gadis tepat di hadapannya dengan ekspresi khawatir itu, Fira sudah yakin akan satu hal. Seberapa pun ia mencoba menghindar dari rasa takut, ketakutan itu terus menghampirinya. Ia takut, tapi mereka terus berada di samping Fira sambil tersenyum. Memaksanya untuk menatap ketakutan dengan wajah datar tanpa keraguan. Bisakah ia?

"Fira? Kamu tidak pulang?"

Gadis bernama Andin itu duluan bertanya. Fira mengerjap beberapa kali. Pikirannya masih mengawang. Entah bagaimana, saat Fira merasa kalau ia kembali takut, orang-orang yang kini berada di sekitarnya menyapa. Seakan, mereka bisa mengetahui kegelisahan Fira. Seakan, mereka ingin berkata, "Tidak perlu takut. Kami akan ada untukmu."

Bisakah Fira menerima perasaan itu? Rasanya, pertanyaan itu pun tidak tepat. Yang benar, bisakah Fira menahan rasa sakit, jika nantinya perasaan itu membuat Fira tersakiti karena mereka? Fira menelan ludahnya sendiri yang terasa pahit. Tenggorokannya terasa kering. Mulutnya membuka lalu menutup beberapa kali. Seakan, tidak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya ingin ia ungkapkan. Seakan, ada sesuatu yang terus membuatnya menelan kembali ucapannya.

Namun, Fira akhirnya hanya menggeleng dan mengeluarkan suara serak. "Ada yang harus kulakukan."

Fira memilih mengadu pandangan pada bagian ujung baju kedua gadis itu. Karena letak kepalanya yang berada di atas lipatan tangan itu memang mudahnya mengarah ke sana. Dan lagi, Fira tidak ingin lama bertatapan dengan dua mata berbinar khawatir itu. Tidak juga pada tatapan yang dapat disimpulkan, tatapan yang sering diberikan kepada orang yang berharga dalam hidup mereka. Teman. Bisakah Fira menerima status itu?

Kalau di mata orang lain, rupa yang Fira berikan ini masih sama. Wajah gadis yang seratus persen malas dengan gerakan tubuh lemas. Ini Fira yang biasa. Dan, pikirannya yang penuh dengan keraguan ini pun dirinya yang biasa. Namun, kedatangan orang-orang yang kini berada di sisinya, membuatnya tertawa,  menangis, dan juga kadang kelrlahan—itu bukanlah hal biasa. Kecemasannya bertambah. Namun, di sisi lain, kebahagiaannya pun berbanding lurus.

"Fira!" Fira mendongak ketika mendapati suara Risa, gadis berambut sebahu yang diikat ekor kuda itu berhasil membawanya kembali ke kenyataan. "Kamu masih belum sadar? Mau sampai kapan di sekolah? Hari ini tidak akan ada jadwal ekskul, kan? Lagipula kamu bahkan tidak ikut salah satunya."

When Love Calls [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang