“Mama mau ke mana?”
Gadis kecil itu menutup bukunya. Seorang wanita paruh baya yang sedang memakai mantel itu menoleh, tersenyum hangat padanya.
“Mama harus pergi ke suatu tempat. Jadi bisa tolong jaga adikmu, selama mama tidak ada?"
Mendapati gadis kecil itu tak menjawab, wanita yang dipanggil mama itu mendekat lalu berjongkok. Menyejajarkan pandangan mereka.
“Fara akan menangis jika mama tinggal....”
Wanita paruh baya itu tersenyum penuh arti, “Karena itu mama minta bantuan kamu. Janji, Fira akan jadi kakak yang baik dan menjaga Fara, ya?”
Wanita itu mengacungkan jari kelingkingnya. Fira menautkan jari kelingking mereka perlahan. Di dalam pikirannya, ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab, tapi mamanya terlihat tidak akan memberi tahunya. Fira memilih diam. “Baik, Ma.”
Wanita itu berdiri. Memberikan kecupan di kening, sebelum pergi meninggalkannya. Fira menatap punggung itu lekat-lekat. Mungkin, karena firasatnya mengatakan bahwa mamanya tidak akan menepati janji.
Buktinya, mama Fira tidak pernah kembali, sejak hari itu.
***
Fira membuka mata perlahan. Telinganya berdenging, pandangannya kabur. Perlu beberapa waktu untuk mengurangi pusing yang tiba-tiba menyerangnya.
Yang pertama kali dilihatnya saat itu adalah langit-langit kamar berwarna biru. Fira mengedarkan pandangan. Mengerjap saat menemukan Faiz tengah tertidur dengan posisi duduk di samping kirinya. Kepalanya naik turun karena tidak ada yang menopang. Sedangkan kesadarannya, telah mengawang terbuai mimpi. Fira merubah posisi menjadi duduk sambil memperhatikan laki-laki itu.
Faiz masih memakai seragam sekolahnya yang sudah kucel karena dipakai seharian. Tiga kancing atas telah terlepas. Memperlihatkan kaus oblong berwarna hitam di dalamnya. Tangan yang awalnya bersidekap sudah hampir terkulai. Jarak yang cukup dekat membuat Fira dapat mendengar dengkuran kecil, dan helaan napas yang teratur dari Faiz.
Entah dorongan dari mana, Fira jadi ingin menyentuh rambut kusut itu. Namun, sebelum berhasil melakukannya, kepala Faiz terdorong maju. Posisi duduk yang kurang strategis membuatnya hampir saja terjungkang kalau saja Fira tidak menahan kepalanya.
Faiz refleks terbangun. Dia duduk lagi sambil memegangi kepala, mungkin karena tiba-tiba membuka mata, kepalanya jadi sakit. Fira menatap Faiz tanpa suara, membiarkannya tersadar dulu.
“Jadi, kenapa kamu ada di kamarku?” tanya Fira akhirnya. Dia menatap Faiz lurus. Perlu beberapa waktu untuk Faiz sadar lalu mengembangkan senyum.
Dia mengambil pundak Fira, menggoyangkannya pelan hanya untuk memastikan. “Kamu akhirnya sadar, Fir. Gimana, ada yang sakit? Kepala atau kaki?Atau ada yang lain?”
Fira menghela napas saat Faiz malah mengabsen permukaan kulit keningnya, berniat memeriksa suhu tubuh. Faiz juga memeriksa tangan dan kakinya--entah apa yang dicari. Dia bahkan tidak menjawab pertanyaan Fira dan malah sibuk sendiri. Apa dia mengira Fira terluka atau semacamnya?
Tahu kegiatan Faiz tidak akan berhenti, Fira menghela napas lalu mengambil tangan laki-laki itu. Menyuruhnya untuk diam. Di sisa-sisa tenaganya ini, melihat orang aktif bergerak saja rasanya membuat Fira lelah. Bisa-bisa mati muda kalau Faiz terus begitu.
“Tidak ada yang sakit. Sekarang, jawab pertanyaanku. Kenapa kamu ada di sini?”
“Kamu tidak ingat apa yang terjadi?”
KAMU SEDANG MEMBACA
When Love Calls [END]
Teen FictionFira tahu, membuat relasi dengan orang lain hanya akan membuat luka lamanya kembali bangkit, hingga ia menarik diri dari orang lain. Meski begitu, beberapa orang keras kepala berhasil menerobos masuk ke dalam hatinya-menghancurkan pagar pembatas dan...