Part 18: when love calls they to take care each other

426 61 16
                                    

Nada ketukan jari di atas meja berwarna cokelat itu terdengar seirama. Dahi gadis yang sedang terduduk dengan satu tangan menopang dagu, sedangkan satu tangan lainnya masuh bermain seirama di meja itu mengerut dalam--bersamaan dengan otaknya yang sedang memproses kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi pada kembarannya tepat hari ini, oleh lelaki yang ia sukai. Pemikiran tersebut berputar tanpa arah, tanpa tujuan dan sangat acak--membuat gadis si pemilik pikiran tidak bisa fokus pada soal-soal aljabar di hadapannya.

Sudah banyak hal yang gadis itu lakukan. Mulai dari hal paling mendasar--kegiatan yang selalu membuatnya rileks dan melupakan semua kegelisahan seperti mencoba tidur, dan juga hal yang ia lakukan akhir-akhir ini seperti belajar--semua hal itu, tidak berhasil membuat pikirannya tenang. Ia tidak bisa menghilangkan rasa khawatirnya terhadap apa yang akan terjadi pada Fara, hari ini. Dan itu berhasil membuatnya setengah gila sekarang.

Gadis bernama Fira itu menjedotkan kepalanya ke meja berkali-kali sembari meringis pelan. Bagaimana Fara? Apa Faiz sudah mengatakannya, atau mereka masih jalan-jalan di suatu tempat?

Pertanyaan saling bersahut satu persatu. Tidak membiarkan Fira istirahat sedikit pun dari rasa khawatir, hingga rasanya ia menggila. Tangannya terangkat untuk sekadar mengacak rambut hitam legamnya hingga helai-helai kecilnya mencuat ke atas tidak beraturan. Tidak berhenti sampai di situ, ia kembali menjedotkan kepalanya ke meja sekali lagi, sebelum akhirnya menelungkup sambil bergumam tidak jelas.

Awal kegelisahan Fira bermula sejak tadi pagi, saat Fara bercerita dengan wajah bersinar bahagia kalau Faiz mengajaknya jalan-jalan hari ini. Tentu, bukan rasa cemburu yang merayapinya setelah tahu hal itu. Bukan juga terganggu karena Fara melanggar peraturan hari Minggu yang gadis itu sendiri tetapkan sebagai hari Faiz milik bersama di jadwal perjanjian mereka.

Melainkan, karena Fira kembali diingatkan tentang kenyataan yang membuatnya galau tempo hari. Faiz menyukai gadis lain. Bukan Fira atau pun Fara.

Apa reaksi Fara saat mengetahuinya nanti?

Hanya dengan memikirkannya, perut Fira terasa dibelit, sakit dan terkocok hingga sarapan nasi goreng tadi pagi bisa saja termuntahkan sekarang juga. Jujur saja, Fira tidak ingin melihat wajah sedih Fara. Bahkan, jika memang mengetahui kenyataan yang sebenarnya adalah pilihan terbaik, rasa-rasanya, Fira belum siap untuk melihat wajah sedih Fara lagi. Tidak akan siap, mungkin.

Pemikiran itulah yang membuat Fira begitu gelisah kali ini. Pemikirin apa Fara baik-baik saja membuatnya tidak bisa memikirkan hal lain. Rasa takut dan khawatir terus mengelilinginya. Bahkan, rasanya Fira bisa saja lebih sakit hati saat mengetahui Fara akan sedih, dibandingkan dengan sakit yang ia rasakan saat mengetahui perasaan Faiz. Perasaan yang tidak akan bisa Fira miliki.

Ponsel bergetar bersamaan dengan layar yang menyala. Fira tersentak. Namun, hal itu tidak mengurangi refleksnya untuk segera membuka notifikasi apa pun yang ada di ponselnya—mengantisipasi kalau Fara yang mengiriminya pesan dengan dada berdegup kencang.

Namun sayangnya, jawabannya tidak. Bukan nama Fara yang ada di sana, melainkan nama laki-laki menyebalkan yang akhir-akhir ini menghantui hidupnya lah, yang berada di layar sekarang. Dia mengirimkan sebuah pesan.

___

From: Afandi H

Nomor 4 sampai 6 salah. Kerjakan lagi. Kali ini cobalah lebih teliti.

___

Sepertinya, Fira harus segera mencari situs santet online untuk membungkam laki-laki itu.

Sungguh, Fira bisa saja melempar ponsel keluar jendela kalau saja ia tidak ingat ponsel adalah hal penting; Fara bisa menelepon kapan saja, dan ia akan melewatkan hal penting jika membuang ponselnya sekarang. Lagipula, ia masih tahu mendapatkan uang itu sulit, tidak mungkin ia membuang benda mahal begitu saja.

When Love Calls [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang