Part 7: when love calls they to be hated each other

536 88 75
                                    

"Kenapa kamu di sini?"

Fira yang sedari tadi menelungkup di atas meja terkejut. Laki-laki yang ditanyai dengan seenaknya mengubah posisi bangku di depan Fira hingga mereka bisa duduk berhadapan. Senyum dan lesung pipinya yang terpahat sempurna berhasil membuat Fira pangling untuk beberapa detik.

"Kamu harus makan, Fira. Sakit itu musuh besar bagi orang pemalas sepertimu. Tapi aku malah enggak melihatmu di kantin. Karena itu aku bawakan saja."

Laki-laki itu--Faiz, meletakkan bungkusan berisi dua kotak batagor. Melihat makanan khas Bandung dengan siraman saus kacang itu berhasil membuat perut Fira melonglong ganas. Ingin diberi makan secepatnya. Fira pun langsung mengambil satu kotak.

Sebelum memakan sesuap, Fira melirik Faiz. Dia sedang memakan batagor miliknya. Rasanya tidak menyangka Faiz sampai mau ke sini untuk membawakan makanan. Apa mungkin ... Fara yang memintanya?

"Kenapa enggak makan?" Faiz menatapnya dengan waajah khawatir. Laki-laki itu lalu memajukan wajah hingga tepat ke depan wajah Fira. Suaranya berbisik, "Kamu lagi dapet, ya?"

Pertanyaan itu berhasil membuat wajah Fira memanas. Bagaimana seonggok manusia berjenis kelamin laki-laki di depannya ini bisa dengan mudah mengatakan hal itu? Cepat-cepat Fira menggeleng lalu memakan batagor miliknya. Matanya melirik liar ke arah mana pun selain mata yang sedang menatapnya gemas itu.

Bahaya. Laki-laki di depannya ini tidak pandang bulu lagi. Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya Faiz datang untuk membawakan makanan. Bukan pula pertama kalinya menanyakan hal sensitif seperti itu. Namun, Fira menjadi risi saat ditanyai sekarang, karena ia mulai mengetahui perasaannya. Semua hal yang awalnya 'biasa' saja, terasa berbeda. Sekuat apa pun Fira menyangkalnya, hal itu tetap terjadi.

Fira mengatur napas sambil membuang muka. Dia harus tenang dan menanggapi Faiz seperti biasa. "Bu-bukan begitu...."

Senyum Faiz kembali terlihat, membuat Fira tertunduk menahan beduk yang berimigran di dalam jantungnya."Tidak perlu sungkan begitu. Kamu sama Fara kan setiap bulannya pasti kena, itu sesuatu yang enggak perlu kamu sembunyiin."

Fira terdiam. Baru ingat, Faiz juga sering mengantar makanan seperti ini pada Fara.

Kamu sama Fara. Kamu sama Fara. Kamu sama Fara.

Sadarlah, Fira! Kamu tidak ada bedanya dengan Fara. Kenapa juga harus merasa senang karena ini?

Fira merasa malu pada dirinya sendiri. Rasanya ia ingin menjedotkan kepalanya ke atas meja, tapi ia tidak suka rasa sakit. Pada akhirnya, Fira hanya bisa memakan batagor sambil bersungut.

"Oh ya, hari ini aku akan pulang terlambat. Ekskul Jurnal mau adain rapat buat acara sekolah nanti. Kamu enggak apa-apa nunggu aku sampai selesai?"

Fira mengangguk. Saat mengingat percakapannya dengan pria-datar-beraura-tidak-menyenangkan tadi pagi membuat wajahnya masam. "Lagipula aku harus ke perpustakaan dulu."

Inilah penyebab Fira kehilangan mood untuk keluar kelas kali ini. Laki-laki tinggi itu datang ke hadapannya saat bel istirahat berbunyi, dengan wajah tanpa bersalah laki-laki itu berkata, "Hari ini setelah pulang sekolah datanglah ke perpustakaan. Kita akan membahas soal dan juga jadwal belajar mulai sekarang. Jangan terlambat!" Setelah memerintah Fira seenaknya, laki-laki itu langsung pergi.

Dasar Jelangkung!

Datang semaunya, pergi tanpa pamit. Dia bahkan tidak tahu sonpan santun. Bertanya apa Fira memiliki kesibukan tidak ada salahnya, bukan? Walau Fira memang tidak punya kesibukan, itu adat kesopanan, tahu!

Fira cemberut. Dimasukkan ke dalam mulutnya batagor dengan ganas. Afandi Heriawan. Belum pernah Fira menemui laki-laki dengan sifat buruk seperti ini. Entah apa yang akan terjadi padanya nanti.

When Love Calls [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang