.
“Hah ... rasanya sudah lama sejak terakhir kali kita pulang bersama.”
Fara tersenyum girang. Faiz yang duduk di bangku samping supir taksi ikut tersenyum. “Iya. Hampir seminggu ini kita tidak bisa pulang bersama untuk persiapan acara. Bahkan, ratu pemalas kita ikut sibuk saat ini. Aku harap tidak akan ada badai atau bencana alam dalam waktu dekat.”
Meski mendengar suara dengan nada ejekan itu dengan sangat jelas, Fira memilih diam. Dia sudah menata bantal agar bisa tidur senyaman mungkin nantinya. Lagipula, perkataan itu tidak terbantahkan.
Fara dan Faiz disibukkan dengan acara ulang tahun sekolah. Mulai dari persiapan barang yang akan dijual saat bazar dan juga hal-hal lain yang Fira tidak tahu--juga tidak ingin tahu apa itu. Fira rasanya sangat bersyukur karena tidak mengikuti kegiatan ekskul apa pun.
Namun, meski begitu, bukan berarti dia bisa bebas. Entah bagaimana, partner lombanya—si laki-laki absolut yang suka menyuruh itu terus-terusan mengusik waktu malasnya.
Dia menepati perkataannya kemarin. Setiap hari, dia akan mengirimkan sepuluh soal melalui aplikasi whats’app dan menagih jawaban milik Fira saat malam hari. Untuk mengirimkan jawaban miliknya itu sangat mudah. Fira hanya harus memoto jawaban itu lalu mengirimkannya lagi ke Afandi, lalu dia yang akan mengumpulkan jawabannya pada bu Erna.
Jangan pernah bayangkan, cerita antara Fira dan Afandi ini akan menjadi kisah romantis berbalut kapas manis. Meski mereka memiliki kontak masing-masing, percakapan yang terjadi tidak lebih dari sekadar foto soal dan jawaban matematika. Atau, saat Fira lupa mengirim jawaban hingga malam, laki-laki itu akan menagih jawabannya dengan sebuah pesan yang terdengar seperti sebuah perintah. Seringnya hanya menimbulkan efek kesal.
Kadang Fira bingung. Bukankah dia seorang ketua OSIS (yang seharusnya) sedang sibuk mengkoordinir acara? Lalu bagaimana dia bisa menyempatkan waktu untuk mengurusi Fira dan soal-soal yang rumit itu?
Ah, Fira tidak ingin memikirkannya lagi. Membuat kepalanya pusing saja. Fira menggeleng pelan. Kembali membenarkan posisi leher senyaman mungkin pada sandaran bangku. Semakin lama, obrolan Fara dan Faiz terdengar semakin samar. Mata Fira sedikit demi sedikit tertutup, lalu dia tertidur.
***
“Kak Fira! Ayo bangun!”
Fira terbangun saat merasakan goyangan di bahunya. Mengerang sedikit, Fira membuka mata perlahan. Taksi sudah berhenti di depan rumah. Fara sudah membukakan pintu di samping sambil terus membuatnya sadar sepenuhnya.
Saat nyawanya sudah terkumpul, Fira keluar dari taksi. Ia tertunduk. Perlulah diketahui, tidur beberapa menit di dalam taksi tidak bisa menghilangkan rasa kantuk ditambah malasnya sama sekali. Rasanya, Fira ingin segera masuk ke kamar lalu melanjutkan mimpinya tadi. Namun, kakinya tidak bisa berkompromi. Rasanya lemas. Fira menatap semen yang dipijaknya, mengabaikan suara Fara dan Faiz yang mulai rusuh.
Bagaimana kalau tidur di sini saja?
Ah, Fira sering berpikir begitu. Sebenarnya, hal itu tidak buruk juga. Walaupun tidak akan seempuk kasur, dalam situasi seperti ini, semen kasar pun bisa menjadi tempat nyaman untuk tidur.
Saat Fira mengambil ancang-ancang mengambil posisi tidur, Fara dan Faiz dengan cepat menariknya. Membuatnya kembali berdiri tegak--ralat, berdiri melayang dengan Fara mengangkat bagian kiri tubuhnya, dan Faiz di bagian kanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Love Calls [END]
Novela JuvenilFira tahu, membuat relasi dengan orang lain hanya akan membuat luka lamanya kembali bangkit, hingga ia menarik diri dari orang lain. Meski begitu, beberapa orang keras kepala berhasil menerobos masuk ke dalam hatinya-menghancurkan pagar pembatas dan...