Part 9: when love calls she to be kindly girls

537 76 64
                                    

“Bagaimana? Kamu sudah baikan, Fira?”

Fira mendongak dan mendapati Danu sedang tersenyum hangat sampai matanya terlihat lebih sipit. Gigi-giginya bersinar, seperti yang sering ditampilkan iklan pasta gigi. Namun, bukan itu fokus Fira. Melainkan apa yang sedang diarahkan padanya. Satu scoop es krim rasa vanila.

“Aku maunya yang rasa stroberi.” Fira bercicit tanpa menoleh ke arah Danu. Suaranya agak serak karena menangis tadi. Walau tidak meraung-raung, tangisan itu berhasil membuat tenggorokannya kering.

“Astaga! Seharusnya kamu bilang terima kasih dan makan es krimnya. Kamu lebih cerewet setelah menangis, ya?” Danu mencak-mencak. Tangannya mengambil tangan Fira untuk menyerahkan cone es krim itu paksa.

Fira melirik sedikit. Danu sedang memerhatikan dengan tatapan 'makan-saja-es-krimnya' tanpa mau ditolak. Tidak ada cara lain. Fira memakan es krimnya dalam diam.

Setelah sedikit tenang tadi, Fira diseret untuk duduk di sebuah ayunan. Matanya sembab. Wajahnya merah. Dan hal itu malah membuat Danu kelewat khawatir. Suaranya saat menenangkan Fira tadi terdengar panik.

Bukan sekali dua kali begini. Fira ingat, saat dia pulang dengan bus dan sakit karena hal tidak terduga, Fira juga mrmbuat banyak orang khawatir. Sepertinya, Fira kembali membuat orang-orang di sekitarnya kerepotan.

Bukan hanya itu, setelah fase drama-yang-harusnya-tidak-terjadi tadi habis, rasa malu baru menghampirinya. Bagaimana Fira bisa menangis di hadapan Danu dan adiknya itu? Fira tidak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Benar-benar memalukan.

Jadilah muka tembok yang tidak tahu malu.... Jadilah tidak tahu malu, Fira.....

Fira terus merapal mantra dalam benak. Kalau sudah malu begini, akan lebih baik kalau memasang muka tembok. Memperlihatkan wajah malu hanya akan membuatnya semakin malu. Bahkan, hanya dengan memikirkan bahwa dirinya malu, rasanya Fira semakin malu. Rasa malu yang menguasainya sekarang hanya membuatnya berkali-kali lipat lebih ma--

Aduh! Bahkan dalam pikirannya dia bisa jadi sekacau itu, karena malu. Pokoknya Fira terjatuh dalam lubang rasa malu tak terhingga!

Fira memukul kepalanya sendiri. Dia harus berpikir lebih tenang. Buang semua rasa malu! Jadilah muka tembok seperti biasa!

Dalam beberapa detik, akhirnya Fira menjadi seperti semula. Tanpa ekspresi. Lalu, memakan es krimnya dengan tenang. Matanya melirik Danu yang memberikan satu cone es krim lainnya pada adik kecil yang menggemaskan itu. Danu bilang namanya Riyan.

Adiknya itu juga duduk di ayunan. Memakan es krimnya dengan semangat. Sedangkan Danu, memilih duduk di sebuah besi silinder yang berdiri sebagai pagar. Memperhatikan Fira dan adiknya secara bergantian dengan raut senang. Membut Fira terpaku beberapa saat. Ketika mata cokelat itu melihat ke arahnya, Fira memalingkan wajah.

Bagaimana Danu bisa tersenyum begitu, ya? Seakan hidupnya tidak punya masalah.

Terkadang, Fira juga menginginkannya. Rautnya yang datar dan pikirannya yang hanya berisi kemalasan ini terkadang mendamba hal membahagiakan. Namun, sepertinya Fira terlalu tamak.

Karena itu, paling tidak Fira ingin memiliki kehidupan yang normal. Lulus SMA tanpa meninggalkan masalah apa pun. Kuliah atau bekerja yang ringan tapi memiliki uang yang cukup untuk menghidupi diri sendiri, agar meninggalkan rumah yang ia tinggali sekarang. Lalu, menjalani hari tua dengan tenang sambil ditemani banyak buku. Hanya itu yang diinginkan Fira. Namun, rasanya sulit sekali untuk dicapai.

Apa mungkin, Tuhan punya rencana lain untuknya?

Seiring berjalannya waktu, Fira tahu. Ada esensi yang lebih besar--dan sangat kuat. Hingga, sekeras apa pun berusaha, dan sebagus apa pun wacana yang dimiliki manusia, tidak semua hal akan berjalan sesuai keinginan.

When Love Calls [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang