Siapakah sebenarnya laki-laki bernama Dilandanu ini?
Fira terdiam, sepertinya sedang berpikir. Atau mungkin, dia hanya mencoba menahan kantuk yang semakin menjadi. Dahinya mengerut.
Namun, di detik berikutnya, wajah Fira kembali datar. Tidak tahu pun, tidak apa-apa juga. Tangannya lalu bergerak meraih pulpen yang selalu bertengger di kantong saku. Memang, bait kata di surat itu sangat manis. Dan akan lebih manis lagi kalau kesalahan tulisannya diperbaiki.
Fara itu perfeksionis. Dia tidak suka melihat hal-hal yang tidak sesuai kaidah yang benar dan baik. Beruntung surat ini datang padanya, bukan adiknya. Jika saja Fara lebih dulu membacanya, bukannya menghayati pengakuan perasaan Dilndanu, dia malah akan asik menceramahi laki-laki itu tentang betapa mirisnya anak Indonesia yang tidak tahu bahasa sendiri.
Fira, sebagai seseorang yang mengetahui sifat adik serta kaidah menulis secara baik, merasa berkewajiban untuk memberikan koreksi pada tulisan Dilandanu ini.
Ah, tidak perlu memuji. Fira tahu dia baik sekali.
Namun, sebelum itu, dia menatap kembali laki-laki yang kini--entah mengapa--sedang berwajah semerah selai roti yang Fira makan tadi pagi.
"Buatanmu sendiri?"
Yang ditanya langsung gelagapan. Dilandanu kini berkeringat dingin banyak sekali. Dia mengambil napas lalu berkata mantap, "Tentu saja."
Fira tetap diam. Tidak bereaksi pada wajah semringah Dilandanu--yang bagi Fira--terlihat aneh sekali. Fira bertanya lagi, "Kamu buat sendiri atau terinspirasi dari buku?"
Laki-laki itu menggeleng mantap, "Buatanku sendiri."
Fira menghela napas. Kembali memasukkan pulpennya ke dalam saku. Hilanglah niatnya untuk membantu laki-laki ini. "Kamu tahu buku 'Hujan di Bulan Juni'?"
Fira menatap Dilandanu yang kini membelalak kaget. Tanpa mengindahkan perubahan wajah itu, Fira melanjutkan. "Akan benar jika ini disebut remake, tapi kamu malah mengakui karya orang lain .... Tidak ada nilai yang pantas untuk ini."
Fira memandang sekali lagi isi surat itu. Hilang sudah pikiran baiknya tentang laki-laki di hadapan. Istilahnya, karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Karena satu pengakuan tak berizin, hilang niat baik Fira untuk mengoreksi.
Niatnya tadi, Fira ingin memberikan nilai sebagai bentuk apresiasi. Tidak lupa memberikan beberapa koreksi yang bisa menjadi bahan revisi. Agar nanti saat diberikan pada Fara, isi suratnya menjadi lebih baik. Namun, hal itu mungkin tidak akan terjadi. Fira melirik sinis, "Padahal belum ada hubungan, kamu sudah berbohong. Gimana nanti kalau sudah pacaran?"
Lawan bicaranya mematung kini. Mungkin ucapannya terlalu menohok ulu hati. Apa lagi, dia mungkin saja malu karena ketahuan mengakui karya orang lain.
Namun, daripada merasa bersalah kepada laki-laki itu, pikiran Fira berkelana ke tempat lain.
Hujan di Bulan Juni.
Novel pemberian Fara diulang tahunnya yang keenam belas. "Sekali-kali, baca buku yang berseni! Enggak sakit apa otaknya dimasukin teori melulu." Fara mendumel sambil menyerahkan kado dengan bungkus merah muda. Warna yang terlalu menyilaukan untuk mata Fira.
Dalam hati, Fira juga mendumel tentang mengapa ada konsep kado harus dibungkus rapi. Padahal kan, bisa langsung serahkan isinya. Kenapa dijadikan rumit, coba? Hal seperti ini sangat menyusahkan untuk pemalas kelas tinggi seperti Fira, tahu?
Dan setelah dibuka, isi kado tersebut adalah novel dari sastrawan yang paling Fara kagumi. Beberapa kali Fira melihat Fara membaca buku dengan nama pengarang yang sama, tentulah Fara berharap Fira juga akan menyukai sastra bentuk puisi. Sama seperti Fara.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Love Calls [END]
Novela JuvenilFira tahu, membuat relasi dengan orang lain hanya akan membuat luka lamanya kembali bangkit, hingga ia menarik diri dari orang lain. Meski begitu, beberapa orang keras kepala berhasil menerobos masuk ke dalam hatinya-menghancurkan pagar pembatas dan...