Part 1.1: when love calls someone to make a love letter

1.2K 143 202
                                    

Siang hari adalah waktu untuk bertempur di kantin. Yang lapar, yang haus, yang hanya ngadem, dan yang cuma mau mengintip doi dari kejauhan, semua berkumpul di sini. Bahkan, gadis pemalas itu pun tidak dapat menolak gravitasi yang dibuat kantin di saat lapar. Kuat gravitasinya hampir sama dengan kasur empuk yang selalu membuainya untuk berduaan lama-lama.

Demi sesuap nasi goreng, atau sepotong roti yang dapat menyumbat tangisan cacing di perutnya, dia memaksa kaki tiba di kantin yang berada di lantai dasar. Dia sudah berusaha sampai sejauh ini, tapi ternyata cobaannya belum berhenti.

Tuhan, mengapa begini?

Fira berdiri beberapa meter di depan kantin dengan wajah datar, tapi pikirannya kini tengah mengelana liar. Melihat pemandangan di depannya, ia jadi teringat buku terakhir yang ia baca malam tadi. Ledakan perang dunia pertama. Mungkin pemandangan di depannya adalah ilustrasi nyata dari perang tersebut.

Memikirkan dirinya harus masuk ke dalam sana, dan mungkin dengan mudahnya terseret kerumunan hingga menjadi korban meninggal tanpa arti--membuatnya mengerut dahi. Tidak, tidak. Dia tidak ingin membayangkan hal itu. Terlalu malas, dan mengerikan tentunya.

Fira lalu beranjak, memilih duduk di bangku terdekat. Bukan di dekat kantin, melainkan bangku di samping vending machine yang menjajakan minuman dingin. Niatnya untuk mengisi perut diluluhlantakan kenyataan pedih. Ia memilih mati kelaparan daripada menjadi korban mati sia-sia di medan perang. Sudah berjuang, pada akhirnya tetap sama, mati juga.

“Kak Fira kok ada di sini?”

Suara merdu dan ceria yang sangat Fira kenal itu membuatnya mendongak. Tatapan Fira masih sama, datar. Namun, dagunya sedikit bergerak untuk memberi isyarat ke arah kerumunan di samping kanannya. Saat ini, mengeluarkan suara pun rasannya terlalu malas untuk Fira. Untungnya, Fara, gadis yang menanyainya itu dengan cepat mengerti.

“Mau kubelikan sesuatu?”

Fira dengan cepat mengangguk. Pelajaran sebelum istirahat tadi benar-benar menguras energi. Guru PKN di kelasnya itu sangat berdedikasi dalam hal ketertiban hingga ia tidak bisa tidur dengan rasa nyaman. Padahal, apa gunanya belajar kalau dia sudah mengingat semua pasal dari periode awal, hingga sekarang yang diamandemen?

Kembali pada kenyataan, tanpa menanyakan makanan apa yang diinginkan Fira, Fara berjalan ke arah kantin. Fira menatapnya dengan sendu. Mengantarkan kepergian kesatria cantik pemberani ke medan perang berdarah. Fira hanya bisa mendoakan dalam hati, agar Fara dapat membawakan makanannya dengan selamat.

Lagi pula, Fira yakin banyak yang akan memberikan ruang untuk Fara berjalan. Senyum sekali, beberapa tentara musuh dapat ditaklukkan Fara si kesatria sejati. Rasanya ini juga keuntungan untuk Fira karena memiliki adik kembar primadona sekolah. Dia jadi bisa menyerahkan urusan membeli makanan tanpa harus lelah hati memikirkan nasib Fara di medan perang.

Jangan tanyakan apakah dia juga terkenal. Dia lebih suka mojok sambil berduaan dengan bantal kecil yang ia bawa khusus untuk tidur di luar kamar sendiri. Berbeda dengan adiknya yang memiliki berbagai macam kegiatan dan selalu menebar senyum cerah idaman semua kaum Adam.

Fira lalu menunggu dengan tenang. Memikirkan menu apa yang akan dibelikan Fara kali ini. Dia bukan gadis pemilih. Apa pun akan ia makan asalkan bukan batu atau kayu. Tapi kalau bisa, makanan yang mudah dikunyah. Karena terkadang ia terlalu malas untuk melakukannya.

Terkadang, Fira sendiri dibuat bingung. Bagaimana dia memiliki sifat sepemalas ini? Namun, memikirkannya pun ia malas. Karena itu dia membiarkannya. Anggap saja, Fira sedang berada pada mode menghemat energi—yang sepertinya, mode itu akan dipakai hingga akhir hayat nanti.

Daripada memikirkan alasan dari betapa pemalasnya dia, Fira lebih sering memikirkan bagaimana caranya dia bisa menjadi pemalas yang profesional. Pemalas yang bisa melakukan sedikit sekali hal, tapi bisa membuahkan banyak pekerjaan.

Semakin banyak pekerjaan yang selesai dengan waktu singkat, semakin banyak pula waktunya untuk bermalas-malasan, bukan?

Iya, Fira tahu. Dia adalah salah satu pemalas yang berkompetensi tinggi. Tidak seperti kebanyakan pemalas yang amatir dan tidak berintegrasi dalam hal memalaskan diri.

Lamunannya terhenti saat pandangan yang sedari tadi tertunduk menemukan sebuah sepatu berhenti tepat di depannya. Bukan sepatu Fara. Bukan juga sepatu Faiz yang biasa menghampiri.

Fira mendongak dengan malas. Menemukan seorang laki-laki dengan pakaian rapi; lengan baju yang masih terkancing, kerah baju yang simetris, dan kacamata tebal yang membingkai sempurna matanya yang sipit. Penampilan anak SMA yang hampir punah, terkikis oleh penampilan berandal yang dianggap keren. Padahal, tidak sama sekali.

Fira tidak memberikan reaksi. Dia memperhatikan laki-laki yang memakai almameter kelas sebelas itu. Wajahnya terlihat aneh—paling tidak dalam penglihatan Fira. Tangan laki-laki itu disembunyikan di belakang tubuh, terlihat sedikit bergetar.

Semakin lama ditatap, laki-laki itu semakin berkeringat dingin. Oh, mungkin saja dia baru selesai olahraga. Kesimpulan yang sederhana. Fira tidak mau berpikir lebih untuk laki-laki yang tidak penting. Fira sedikit mengerjap saat tangan laki-laki itu terulur tepat ke arahnya. Dia menyerahkan sebuah surat dengan warna biru muda yang begitu cantik.

Fira menunjuk dirinya sendiri. Memberikan pertanyaan pada laki-laki itu. Setelah mendapat sebuah anggukan, Fira mengambil surat itu. Firasatnya mengatakan kejadian yang sama akan terulang kembali. Meski begitu, dia tetap membuka suratnya.

Untuk Fara Arinda ....

Hanya dengan membaca awalan surat itu, firasat Fira terbukti. Namun, dia jadi sedikit tertarik karena tulisannya sangat rapi. Yah, dia saja, karena malas, tulisannya jadi seperti tulisan kuno prasejarah yang masih tidak tahu abc. Bahkan dia sendiri tidak tahu apa yang ia tulis.

Mungkin, membaca surat ini tidak apa-apa. Lagi pula, satu-satunya hal yang tidak membuat Fira malas adalah membaca. Beberapa bait puisi atau ungkapan perasaan tidak akan membuatnya jatuh pingsan akibat mengurangi kadar kemalasannya, bukan? Dia membaca surat itu dalam hati.

Menyukaimu itu ... seperti hujan di bulan februari.

Dengan tabah ku rahasiakan rintik rindu pada pohon berbunga, itu kamu.

Dengan bijak ku hapus jejak langkah meragu, hingga cinta ini bukan lagi keraguan.

Dan dengan arif ku biarkan rasa ini di serap akar, meski tak terucap.

Itu yang ku pikirkan dulu.

Namun, ternyata cintaku bukan hujan di bulan februari.

Karena aku ingin cintaku kamu ketahui, wahai bunga kasturi.

--Dilandanu

.

Fira diam sebentar. Tangannya gatal untuk mencoret tulisan yang salah tata bahasanya dari surat itu. Namun, dia memandang laki-laki itu sebentar. Bait kata yang manis. Fira rasa, Fara akan menyukainya, terlepas dari beberapa kesalahan yang masih bisa diperbaiki. Fira jadi bertanya-tanya dalam hati.

Siapakah sebenarnya laki-laki bernama Dilandanu ini? []

When Love Calls [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang