“Yan, besok Senin kan gue udah masuk kuliah... Gue pengen represing sekali. Cuman jalan-jalan, sih. Sama si Ceking seorang. Nggak ada manusia lain, kok. Apalagi spesies maskulin. Boleh, nggak?”
“Hm,” jawab Riyan singkat.
Si Tiang kenapa, ya? Kok mendadak beku begitu? Gue jadi berasa kayak prinses Ana yang lagi ngedobrak pintu kamarnya si Elsa sambil ngemis-ngemis permen kaki gara-gara nggak nelen nutrisi selama dua seperempat abad.
Apa kondisi pasiennya di RS bikin dia setres?
Kalo gue tanya kira-kira bakal dikasi jawaban nggak, ya?“Adriyan,” pertama kalinya bagi Loli memanggil Riyan dengan nama benarnya. Adriyan yang dipanggil begitu malah terkejut. Tampak dari kelopak matanya yang melebar sesaat setelah nama itu disebut.
“Hm?”
Hm lagi hm lagi, jadi pengen nyanyi lagu sampan gambus rasanya.
“Gue percaya sama satu pepatah yang bilang gini, 'malu bertanya berarti lu siap bego,' walaupun gue sadar kebegoan gue udah nyampe level yang memprihatinkan, gue mau tetep nanya,” jelas Loli menyampaikan pembukaan.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga menit.Riyan masih terdiam bersama dengan tumpukan buku-buku tebal dan jurnal-jurnal penelitian yang bahkan ikut membisu. Hanya suara perpindahan tiap lembaran yang selesai dijelajahi oleh kedua netra dan isi otak sang empu. Loli menghela napas sebelum menyampaikan pertanyaannya.
“Lo kenapa?”
“Nggak papa,” timpal Riyan cepat.
Lah gue berasa kayak cowok yang lagi dikode-in sama ceweknya.
“Ck, gue nggak ngerti kode-kode rahasia semacam 'gapapa', 'terserah', 'kamu jahat', 'kamu nggak ngerti aku', 'bantai aku aja,'. Jadi lo kalo ngambek, kasi tau gue salah apa?! Ntar kalo gue bangun, terus lo nangis-nangis kangen sama gue, baru tau rasa lo!” jerit Loli dan berlalu.
.
.
.Di Jalanan Udayana, tepatnya di kursi mungil full colour di setiap tiga meter pinggir jalan.
“Lo kenapa, sih? Punya muka kok kayak kaki kodok kejepit tembok caina begitu?” tanya Mita sedikit cemas melihat sahabatnya tampak begitu lesu.
“Si Tiang mendadak diem semalem,” jawab Loli malas. Ia menggertakkan kedua kakinya di atas daratan berbalut semen kokoh sambil menghempas tubuhnya sendiri pada sandaran kursi mungil di sisi jalan raya.
“Wow. Akhir-akhir ini ada maskulin yang ngelirik lo, nggak?” tanya Mita tiba-tiba.
Loli yang mendengar penuturan sahabatnya itu berusaha menerka-nerka setiap peristiwa yang terjadi antara pukul 9.00 AM sampai pukul 9.00 PM kemarin. Tapi, tidak ada bayangan.
“Nggak ada tuh,”
“Iya juga, yah.. Nggak mungkin. Gue aja masih heran ada cowok yang ngelirik spesies kek lo. Kayaknya orang kelewat pinter itu jatuhnya bego ntar jadinya, kayak suami lo,” Mita menggumam dengan kedua tangan memangku dagu.
“Dih, sirik aja lo sama gue. Walaupun si Gea itu biutipul ples, gue juga punya inner biuti yang full. Makanya Riyan ngeli-”
“Uwaahhh gue tahu sekarang masalahnya!” pekik Mita sukses membuat setiap pasang mata yang berjalan di hadapan mereka berpaling secara paksa.
“Lo tau apa? Awas aja nggak guna,” ancam Loli sambil menyundul lengan Mita dengan kepalan tangannya.
“Gea!”
“Hah?”
“Iya, kata kuncinya Gea! Coba deh lo pake otak lo sekali buat mikirin kaitan semuanya. Lo nalar sekali seumur hidup buat masalah ini,”
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah Lagi, yuk!
Ficción GeneralGue nggak paham alur cerita gue sendiri. Sampai detik ini pun rasanya semua kayak mimpi. Tapi hamdalah banget gue masih bisa sadar kalo keputusan gue bego banget. Yah, dari pada nggak nyadar-nyadar? Intinya Lo nggak bisa bangun hubungan kalau bukan...