Terimakasih karena akhirnya kau datang.
Memberi warna pada langitku yang suram.
Menjadi teman sejati dalam menghadapi lika-liku kehidupan.
Alam semesta menjadi saksi betapa takdir pilu berganti kebahagiaan..
.
.Tujuh tahun kemudian.
Terdengar suara lantunan sholawat dari dapur. Rupanya itu adalah Lolita yang sedang mengaduk campuran kangkung, pete, tahu kotak-kotak dan sambel di atas teplon panas alias tumis kangkung pete tahu kotak-kotak. Nama yang panjang dan melelahkan.
Tiba-tiba saja sepasang tangan kekar muncul dari belakang. Back hug penuh cinta dari Adriyan mengikis sedikit demi sedikit hawa dingin pagi Loli. Menyambung larik demi larik yang dilantunkan Lolita. Membuat gadis itu menyungging senyum penuh makna.
Setelah bait kedua sholawat Badar selesai, Adriyan menyapa hangat.
"Salamu'alaikum, istriku," sapanya hangat sambil mengecup pucuk kepala Lolita yang tertutup hijab. "Dan calon putri kecilku," sambungnya sambil mengusap lembut perut sang istri yang sudah hampir tujuh bulan.
Lolita mulai cuti dari kegiatan mengajar di kampus. Setelah menyabet gelar Magister di Stanford University, ia pulang dan memulai karir sebagai dosen pengampu beberapa mata kuliah di kampus yang selama ini membesarkan namanya. Ia juga menulis beberapa buku referensi yang akhirnya menjadi rujukan di hampir seluruh kampus se-Indonesia.
"Wa'alaikumussalam. Sono panggil Umar sekalian buat sarapan."
"Siap, Yang Mulia Ratu!" Sahut Adriyan bersemangat. Ia beranjak menuju kamar di lantai dua dan menemui seseorang disana.
"Umar, yuk turun, Ummi udah siapin sarapan," sapa Adriyan pada Umar, yang bernama lengkap Abdullah Muhammad Umar dan merupakan putra pertama mereka. Berwajah tampan seperti abinya.
"Iya, Abi. Sebentar lagi Umar turun. Lagi tiga ayat terakhir deh, nanggung banget, Bi," jawab Umar dengan mushaf Qur'an di tangan. Ia memang tak merasa tenang berangkat ke sekolah sebelum menambah minimal 1 ayat hapalannya.
"Oke deh, nanti setor ke Abi di mobil, ya?" tanggap Riyan lalu menemui Lolita lagi.
Tak berselang lama, semua anggota keluarga kecil Adriyan dan Lolita berkumpul di meja makan.
"Nanti jam 9 bi Lisa balik dari kampung. Jadi mulai sekarang nggak usah kerjain kerjaan rumah yang berat-berat."
"Iya, baik."
Begitulah percakapan normal antara Lolita dan Adriyan saat bersama keluarganya. Lain lagi ketika mereka hanya berdua.
Sebelum berangkat, Adriyan mendekati Loli hendak pamit. Tangan kecilnya meraih dasi dan kerah kemeja suaminya yang sudah rapi.
Formalitas duang, Gess.
Biar gue dikira jadi istri yang normal kek ditipi-tipi.
Padahal mah pasang dasi aja gue nggak bisa.
Malah sok-sok mbenerin."Hari ini lo makan malam dimana?"
"Di rumah. Masakan favorit gue kan masakan lo."
Blushing.
Set dah, pagi-pagi dah bikin dag dig dug serr.
Emang hobinya si tiang dah.
Tukang bikin seneng.
Hehehe."Hari ini gue bakal bikin mochi. Lo mau rasa apa?"
"Gue mah apa aja, yang penting makannya sama elu," jawab Riyan yang sekali lagi berhasil membuat Loli menahan senyum malu.
"Rasa tai kucing baru tau rasa lo! Lagian mon maap aja, nggak bisa nge-fly nih gue. Berat badan gue udah naik nyampe 60 kg berkat lo. Jadi fiks gombalan lo gagal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah Lagi, yuk!
Fiction généraleGue nggak paham alur cerita gue sendiri. Sampai detik ini pun rasanya semua kayak mimpi. Tapi hamdalah banget gue masih bisa sadar kalo keputusan gue bego banget. Yah, dari pada nggak nyadar-nyadar? Intinya Lo nggak bisa bangun hubungan kalau bukan...