Angin (Part 1)

183 13 2
                                    


Datang, bawaku menjauh.


"Nama saya Adelle Karenina Wijaya. Saya pindahan dari Jakarta."

Karen memperkenalkan namanya dengan takut di depan kelas. Ia menundukkan kepala. Pegangannya mengerat pada tas ransel yang sedang di pakai. Jantungnya bermaraton dengan kecepatan 80/120 kali per menit.

"Nama kamu bagus. Biasa dipanggil siapa?" Tanya siswi yang berambut ikal di barisan ke tiga.

Karen seketika berpikir. Ia kemudian menghembuskan napas untuk mengambil keputusan. Hidup baru, lembaran baru. "Biasa dipanggil Adel." Jawab Karen seraya tersenyum manis.

Seisi kelas terpukau dengan senyum Karen. Senyum seorang Karenina yang belum berdamai dengan masa lalunya. Senyum seorang Karenina yang mulai detik ini menjadi Adel. Sosok baru dengan sikap yang baru. Karen tampak sangat indah dengan menampakkan lesung pipi yang tercetak hanya di sebelah kiri saja.

"Adel udah punya pacar?"

Suara memekakkan dari bangku paling belakang itu berhasil menyentak sistem imun Karen. Karen merasa mual sekaligus takut. Tubuhnya mulai gemetar. Ia merasakan oksigen yang mulai menipis. Dadanya nyeri seperti dihantam 'bogem'. Karen mencoba menetralisir rasa sakitnya. Ia menatap tajam lelaki yang berada di barisan paling belakang dengan sengit.

"Pacaran gak penting." Ungkapnya kasar.

Kelas yang mulanya ricuh menjadi diam. Semua menatap Karen takjub, kesal, bahkan benci. Jawaban kasar yang dilontarkan oleh murid baru pada saat perkenalan. 'Murid Baru' cuy. Murid baru yang hari pertama memasuki bangku sekolah SMA Pratiwi.

Karen atau yang seterusnya akan dipanggil Adel tersadar akan ucapannya. Ia berusaha mencairkan suasana. "Kan kita masih kelas 10. Jadi meskipun Jomlo gak bakal dapet julukan Perawan tua dong. Hehe."

Seketika kelas mulai ricuh kembali. Segala macam pertanyaan Karen jawab dengan sabar. Ia berusaha mengendalikan emosinya. Bu Saras bahkan tidak banyak membantu. Beliau hanya duduk manis sambil tersenyum melihat Karen menanggapi semua pertanyaan temannya dengan ramah. Omong kosong! Pertanyaan yang sama sekali tidak berbobot. 'Adel kok cantik?' 'Adel pakek Softlens?' 'Adel rambutnya bagus, nyalon di mana? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya. Karen tahu mereka hanya Fake. Semua yang mereka tampilkan dari luar hanya karena kecantikan Karen yang mendewi dan mereka kagumi. Kalau saja Karen sama bertampilan nerd atau bertampang jauh dari kata cantik. Mereka akan kicep. Segala keramah-tamahan akan sirna.

 Segala keramah-tamahan akan sirna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketakutan memaksa untuk sembunyi.


"Kamu duduk bersama Qilla di bangku no dua itu Adel." Tunjuk Bu Saras kepada salah satu siswi yang sejak tadi menatap Karen tak percaya.

"Baik bu." Karen melangkah mendekati siswi tersebut. Ia tidak menanggapi keriuhan teman-temannya yang berniat menggoda. Ia meletakkan tasnya lalu duduk dengan anteng.

"Hai." Sapa orang disebelahnya.

"Kamu lupa aku ya?"

Karen menoleh. Ia masih tidak menjawab pertanyaan dari sampingnya. 'Dasar aneh' batin Karen.

"Hei ayolah. Kamu Karenina kan? Masak lupa sama aku."

Karen seketika menolehkan kepalanya lagi. Ia meneliti gadis yang sekarang tersenyum menampilkan gigi gingsulnya. Gadis manis dengan bando berwarna biru. Kulit kuning langsat seperti kulitnya. Karen mengkerut bingung. Ia merasa mengenali senyum gadis itu.

"Come on, Karen. Aku Lala. Aqilla Anastasya. Teman sepermainanmu waktu kecil. Adik abang Igor cinta pertamamu." Qilla terkikik saat menyebutkan 'cinta pertama'. Pasalnya sewaktu kecil mereka memang merupakan teman sepermainan.

"LALA." Teriak Karen girang.

"Sssstttt."

Karen membekap mulutnya. Lala atau Qilla menyuruh Karen diam menggunakan jari telunjuknya. Ia kemudian memberi isyarat agar Karen memperhatikan guru yang sedang mengajar di depan kelas. Karen mengangguk patuh. Ia mendengarkan dengan seksama penjelasan Bu Saras.

Setelah kelas usai, Karen masih setia di bangkunya bersama Qilla. Qilla menatap Karen berbinar-binar, pancaran bahagia karena rindunya impas. Qilla tidak menyangka akan dipertemukan dengan Karen melalui cara spesial seperti ini oleh Tuhan. Qilla bahagia. Tentu saja. Sosok Karen teman sejatinya pulang. Ia sekarang berada di sampingnya.

"Aku gak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Satu sekolah bahkan satu kelas lagi. Ahh Karen, Aku kangen." Qilla memeluk Karen.

"Astaga Qilla alay deh." Karen tertawa. Tawa yang tulus setelah hampir sebulan tidak bisa tertawa.

"Emang ya, lo gak pernah berubah. Pesonanya beuh, pas masuk kelas langsung aja anak seleas kicep. Tetep cantik kayak malaikat malahan udah lebih dari cantik. Cantik lo over."

'Malaikat? Sungguh gelar yang tak pantas' batin Karen.

"Karen ayo ke kantin."

***

Hai... hai... Terimakasih buat yang masih setia dengan Karenina. Selamat membaca!

Jangan lupa vote dan komennya ya....


KareninaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang