Hidup hanya menunda kekalahan.
Suara-suara dari motor, mobil, bahkan klakson ketidaksabaran menggema ditelinga Karen. Karen sama sekali tak merasa terganggu. Matanya sesekali mengerjap dikenai terpaan angin. Karen menghirup napas dalam-dalam. Bau pagi yang maskulin. Ia merasa pagi ini adalah lelaki karena keberanian yang tiba-tiba muncul dalam hatinya meski cuma mendasar. Padahal selama ini ia selalu menajamkan keyakinan bahwa keberanian selalu ada terhadap diri pria mau pun wanita. Tapi, semenjak kejadian naas itu, ia merasa hanya lelaki yang bisa tegak, berdiri, melangkah, sedang wanita membuntuti. Hancur.
"Karen itu depresi berat, Le."
"Iya gue tau. Lo udah bilang itu tadi. Tapi gue sama sekali gak ngerti penyebabnya apa?"
Angga diam.
Percakapan dengan Angga beberapa hari lalu menyebabkan hatinya terasa menukik. Leon sama sekali tak percaya. Angga masih bisa menyembunyikan hal yang sangat besar itu. Leon hanya ingin membantu. Leon hanya ingin menjaga Karen. Dan Leon selamanya hanya ingin tetap menjadi satu-satunya pelindung Karen.
Tet...Tet...
Suara itu. Suara-suara klakson yang tertuju pada motor Leon. Ah, Leon sampai lupa ia sedang berkendara. Pikirannya berkelana jauh membuat jalanan menjadi ricuh. Hari minggu yang ramai menjadikan pengemudi tidak sabar menuju tempat tujuan. Leon menepikan motornya.
"Kenapa Kak Eon?" Karen mengerjap-ngerjapkan matanya.
Leon memandang Karen yang mengerjap-ngerjap lucu. Ia mengelus puncak kepala Karen. "Karen, Kakak ajak temen kakak main sama kita ya?"
Karen mengerjap-ngerjapkan matanya. Ragu.
"Gimana?"
Karen memainkan jemarinya. Ia tak berani menatap mata memohon Leon. Ia takut Leon menyadari keadaannya. Karen akan berbohong baik-baik saja untuk Leon. Demi Leon, ia harus menyembunyikan ketidak warasannya.
Karen mengangguk dengan kepala masih memandang jemarinya.
'Maaf Karen. Kakak harus memastikan sesuatu.'Batin Leon.
Iya. Leon bukannya tak tau maksud dari perlakuan Karen tadi. Leon bukannya tidak mengerti sikap 'ketakutan dan kewaspadaan' Karen. Leon sangat mengenal Karen. Hanya saja, ia harus memastikan. Memastikan sesuatu 'untuk melindungi sepupu jauh sekaligus sahabat tersayangnya ini'.
***
Karen dan Leon sudah sampai disebuah kafe yang terkesan santai itu. Dinding-dinding kafe yang terbuat dari kayu memberikan kesan sejuk. Harum vanila juga menyerbak memenuhi indera penciuman. Karen tersenyum. Suasana kafe pilihan Leon sama sekali tidak buruk. Pelayanan kafe juga sangat cekatan dan bagus. Karen mendudukkan pantatnya di bangku memanjang depan Leon.
Leon menatap Karen was-was. Ia sedikit merasa takut.
Karen memesan chocolate milkshake sedangkan Leon memesan late kepada pelayan. Leon memandang Karen yang berada di depannya. Ia mengamati setiap lekuk wajah Karen. Karen tersenyum hangat. Ia balas memandang Leon tak kalah intensnya.
Kegaduhan dari arah pintu masuk memutus pandangan mereka. Karen dan Leon sontak menoleh ke arah kegaduhan tersebut. Karen menganga. Ia cukup kaget mendapati teman-teman satu sekolahnya itu. Ralat. Siswa-siswa yang kebetulan bersekolah di tempat yang sama dengan Karen. Karen memandang Leon yang masih setia melihat ke empat rekannya. Karen tidak mengerti.
"Woy bro. Udah lama?" Dylan menepuk bahu Leon.
"Iyalah. Kalian sih LEMOT."
"Santai atuh. "
KAMU SEDANG MEMBACA
Karenina
ChickLitPercaya butuh kekuatan ekstra. Kamu tidak akan pernah tau dimana titik kepastian yang fakta atau mungkin kau tak pernah mengerti bahwa yang pasti takkan muncul sama sekali. "JANGAN SENTUH SAYA." Dan bahkan kamu tidak akan pernah membayangkan bagaima...