Jatuh (Part 6)

116 7 2
                                    


Sebelum kalian baca nih.

Aku cuma ngasih tau kalok ini kelanjutannya yang kemarin.

Happy reading. Jangan lupa vote dan komennya.

***

Ruangan itu masih sama. Tak ada yang berubah. Tangan Leon bergerak dari satu sisi ke sisi lainnya. ia mencoba mengais sisa-sisa kenangan dalam ingatan. Bibirnya tersenyum mendapati foto dirinya, Angga, dan Karen. Kalau tidak salah foto itu diambil saat Angga marah disebabkan Karen lebih memilih membela Leon karena suatu cekcok kecil. Leon semakin melebarkan senyumnya. Ingatan itu berhasil membuat hatinya tergelitik.

"Semuanya gak ada yang berubah, ya."

Angga menatap punggung sahabatnya itu nanar. 'Semua masih sama tapi nggak bagi Karen.' Angga mencoba mengatur napasnya yang mulai tersengal. Rasa sakit, emosi, dendam telah menyatu mendaging. Mencipta Eros yang menggerogoti kesucian kasihnya.

"Gue gak nyangka ternyata dia emang Karen." Leon masih setia memandangi foto masa kecilnya. Kebahagian yang tercetak tanpa tau malu dan sembunyi-sembunyi. Gigi Karen yang masih ompong. Ia terkikik. Masih ingat saat mengatakan 'Kayen gigi kamu kayak Mak Lampiy.' Sedangkan Karen malah kegirangan tanpa tau apa dan siapa itu Mak Lampir. Lucu.

 Lucu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Gimana kabar Gea?"

Leon menoleh. "Baik." Ia manggut-manggut mengekspresikan perkataannya. Leon masih tidak menyadari getaran dalam perkataan Angga.

"Kabar tante Fera gimana?"

"Mama masih sama, mengharapkan pria itu." Leon mencoba menegarkan dirinya. Ia berbalik sepenuhnya menghadap Angga. Matanya menatap manik hitam milik sahabatnya. Leon tersenyum. "Tapi mama baik kok."

"Syukur deh." Angga kikuk. "Emh, makasih banyak ya udah bantu adek gue tadi. Lo jadi bonyok deh."

"Lo kayak sama siapa aja."

"Iya tau yang belagak jadi superman sampek kolornya dipasang di luar."

"Heh, pelecehan lo."

"Haha. Kalok diinget-inget lucu. Gue inget banget kolor lo warna merah waktu itu. Karen sampek nangis-nangis pengen nyoba make kolor lo."

"Bener banget. Lucunya Karen malah makek kolor gue di kepalanya."

Tawa mereka menggelegar. Angga bahkan melupakan sejenak untaian kebencian terhadap kisah tragis beberapa tahun lalu. Kerinduan pada sepupu jauhnya itu begitu memupuk-mengakar. Leon mulai menatap Angga serius.

"Gue bener-bener hampir ngira Karen itu bukan Karen."

"Maksud lo?"

Leon menatap manik mata sahabatnya. Ia tidak menemukan gelagat kaget dari pandangan sahabatnya itu, melainkan sebuah sikap 'kewaspadaan?'. "Gue tau setiap orang punya masalah dan sepertinya ini sedikit privasi. Tapi lo paham betulkan? Gue udah anggep Karen adek gue sendiri. Jadi apapun masalahnya, gue harap suatu saat lo bisa cerita sama gue." Leon menepuk bahu sahabatnya lalu beranjak pergi menuju kamar Karen.

'Gue gak sanggup cerita. Gue gak kuat harus sekali lagi mengakui kegagalan gue sebagai kakak Karen. Gue juga sakit Le.'

***

Sebuah mobil sport hitam terpampang manis di halaman rumah Leon. Leon tersenyum, setidaknya ia harus menyembunyikan keresahan sebelum sahabat-sahabatnya menginterogasi. Mereka tentunya tak akan terima dengan kebololosan Leon di hari rabu yang cerah ini. Leon menghela napas. 

 "Kak Eon. Karen sakit." Kata-kata Karen menggema di sekitarnya lebih tepatnya ulu hatinya.

Leon memasuki ruang tamu. Ia mendapati sahabatnya sedang bermain game online di hp. ya Mereka tampak serius. Leon mencoba tidak mengganggu keseriusan mereka bertiga. Ia sebenarnya juga sangat lelah. Lelah dengan hidup yang tak henti memeras kesakitan. Sakit sembunyi-sembunyi yang tak mampu ditampakkan kepada orang lain.

"Ikan hiu main pedang. Eh, Leon udah datang." Seru Dylan girang. Matanya berbinar-binar. Untungnya bukan binar-binar asmara.

"Ikan hiu gak main pedang, nyet."

Dylan mencibir tanggapan Yadi. Namanya juga karya sastra. Huh, mau-mau si penulis dong!

Leon menampakkan wajah datarnya. Sungguh ia lelah. Abigail mendekati Leon. Matanya menajam meminta kejelasan. Senjata ampuh seorang Abigail untuk menundukkan teman-temannya. "Bisa langsung jelasin." Abigail memandangi wajah Leon yang hampir hancur itu. Lebam menghiasi pipi kanan, kiri, dan area sekitar bibirnya sedikit sobek.

Leon menghembuskan napas. "Gue nolong orang yang kegap preman di jalan menuju sekolah."

"Trus?" Yadi dan Dylan antusias.

"Trus ya gini deh."

Abigail, Dylan, dan Yadi meringis bersamaan. Wajah Leon benar-benar hancur.

"Siapa sih? Cewek? Cowok? Trus anak sekolahan mana? Lo berantem sama premannya?"

Leon meringis. "Tanyanya satu-satu ya. Bibir gue sakit."

"Yaudah istirahat aja binyok."

Abigail, Yadi, dan Leon mengerutkan kening.

"Bibir bonyok." Dylan tersenyum manis. Sangat manis. Sampai-sampai para sahabatnya itu melempari dirinya dengan bantal di sofa. Minus Leon tentunya.

***

KareninaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang