Gemericik (Part 11)

71 5 0
                                    



"Aku di depan!"

Pesan itu membuat senyum Adel terbit. Ia mematut dirinya sekali lagi di cermin. membenarkan letak rambut-rambut nakal yang menutupi dahi dan sedikit pipinya. Ah! Adel baru kali ini merasa kerepotan dengan rambut pendeknya.

Cantik.

Ia mengambil ponselnya yang tergeletak di tempat tidur. Memasukkan gadget itu ke dalam tas selempang yang akan ia-bawa. Ia juga memasukkan parfum serta dompetnya. Sudah selesai. Adel merasa tak perlu repot-repot berdandan hanya untuk jalan-jalan biasa. Ia memakai dress terusan berwarna biru telaga. Sebuah pilihan warna yang membuat kulitnya tampak lebih cerah dari biasanya.

"Mau kemana?"

Adel memejamkan matanya sejenak. Gemuruh itu masih ada. Rasanya teramat sakit. Adel ingin menghilang dari sini segera! Menjauh dari sisi Angga yang bahkan sudah tidak menyayanginya lagi merupakan pilihan yang pas bagi Adel. Tunggu! Barusan Angga bertanya Adel mau kemana? Apa Angga sedang berperan sebagai Kakak yang Maha-Peduli?

"Mau keluar."

"Sama siapa?"

Adel menghela napas. Andai Adel bisa membenci Angga seperti kebenciannya terhadap para orang tua itu. Andai Adel lupa bahwa Angga sedari dulu sangat menyayanginya. Andai Adel bisa lupa kalau Angga dulu pernah hampir dipenjara karenanya. Ah! Rasanya semakin sesak. Adel masih ingat betul rasa kasih- yang diberi Angga. Maha cinta yang Angga torehkan benar-benar mendalam. Adel ingin menepis tak memberi ijin.

"Temen."

"Cowok di depan itu?"

Adel diam.

"Jangan lupa bawa jaket kalok keluar malem-malem. Segera telvon kakak kalok ada apa-apa." Angga tulus mengingatkan Adel. Ia berlalu meninggalkan adiknya yang mematung.

"Oh ya. Jangan pulang terlalu larut. Kakak gak suka!" Suara Angga menggema dari depan tv.

Senyum Adel terbit. Kenapa rasanya sepedih ini?

***

"Kamu cantik."

Adel merasakan napasnya mulai sesak. Dadanya mengetat seakan tampar tak kasat mata erat mengikat. Adel menghembuskan napas berulang-ulang. Kelegaan menerpa seketika. Jantungnya bertalu teratur. Ia harus meyakinkan diri bahwa orang ini adalah Abigail. Sang penyelamat, penyemangat, dan penyambung harap kehidupan semunya.

Adel menatap Abigail. Senyumnya terpampang manis beserta mata yang sedikit menyipit. "Ah! Masak?" gigi putihnya menyembul dengan alis yang hampir bertautan.

Abigail salah tingkah.

"Makasih, udah mau nemenin."

Adel terkikik geli. Ia seperti sedang berbicara dengan orang lain. Lelaki di sampingnya tampak kaku. "Jadi, tempat spesial yang mau lo datengin adalah kebun binatang?"

Abigail mengangguk. Pandangannya lurus ke depan. Matanya mengisyaratkan kesenduan. Ia mengerjap-ngerjap menyesuaikan hangat air mata yang datang. Entah dikarenakan angin malam atau suasana hatinya yang mendayu. "Tempat ini spesial." Ia menatap Adel meyakinkan.

Adel mengangguk. "Sespesial apa sih? Lagian kebun binatangnya udah nutup juga."

Abigail tersenyum. Ia menatap wajah cantik disampingnya. Ah, rasanya bahagia sekali! Ia benar-benar tak pernah membayangkan setelah sekian lama rasa takut itu singgah. Pada akhirnya, ia datang kembali. Ia datang dengan membawa seorang perempuan yang mengusik ketenangan hatinya. Perempuan yang berhasil membuatnya lupa dengan bayang-bayang masalalu. "Gue punya cerita bahagia."

Adel mengerutkan keningnya.

"Dulu, ada seorang anak yang pengen banget datang ke kebun binatang ini."

"Trus?"

Abigail menatap Adel dengan mata teduhnya. "Anak itu datang dengan ke dua orang tuanya. Dia bahagia sekali." Sesak. Abigail mulai merasakan sakit di dasar hatinya. Ia tak sanggup melanjutkan dongeng yang ia-mulai. Ia menghembuskan napas, menetralisir darah dalam nadinya yang bergejolak. Wajahnya menengadah. "Orang tua anak itu sangat baik. Ia berhasil menorehkan kenangan manis itu kepada anaknya selamanya. Senyum dan tawa yang tulus." Abigail tertawa seperti mengejek.

"Kenangan?"

"Orang tuanya meninggal sehari setelah membawa anaknya ke kebun binatang ini. Mereka kecelakaan karena bertengkar di dalam mobil." Abigail menyeka air matanya. "Miris ya? Padahal sehari sebelumnya mereka keliatan kayak keluarga yang harmonis."

Adel mulai mengerti arah pembicaraan Abigail. Ia memegang kepala Abigail lalu diletakkan dipundaknya. Abigail perlu menangis. Setidaknya Abigail dicintai oleh ke dua orang tunya.

***

Hai guys. 

Maaf baru muncul! 

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENNYA YA....

KareninaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang