Antara- (Part 13)

40 3 0
                                    


Kesedihan sudah meruang dan menepi dalam diri~
Ruang sudah karam dengan beribu temaram~


***


Karen menghempaskan dirinya di samping Abigail. Lelaki itu menampakkan sunggingan tak tahu malu. Lucu? Tidak! itu justru menakutkan bagi Karen. Ia menepuk keras-keras pundak Abigail. Sungguh Abigail menakutkan jika tersenyum.

"Lo jangan senyum kayak gitu!"

Abigail mengerutkan alisnya.

"Why?"

Untuk beberapa alasan. Bolehkah gadis rapuh ini meminta sedikit belas keajaiban. Setidaknya ia sedang butuh Abigail yang serius. Lelaki yang selalu ada untuknya dan memahaminya. Ia sangat butuh Abigail -temannya.

Lapangan ini benar-benar menyesakkan. Angin-angin ini juga. Rumput-rumput yang didudukinya pun menyebalkan!

Abigail memperhatikan raut wajah masam Karen. "Lo PMS?"

Seketika Karen menolehkan kepala. Ia tak habis pikir dengan pertanyaan bodoh Abigail. Apakah ia terlihat sedang PMS? Menahan sakit? Atau emosi??? Tidak. Sejujurnya ia sedang ingin menangis, bersedih.

Karen mengibas-ngibaskan tangannya. Angin di lapangan tentu saja sudah cukup menyejukkan kulitnya, namun tidak dengan hatinya. Ia benar-benar butuh bicara. Karen tidak dapat mengkompromi bokongnya untuk mendarat lebih lama, terlebih bersama Abigail. Ia ingin pulang saja. Menangis. Meraung. Menggores sedikit luka di pahanya. Menambah pahatan-pahatan seni dianggota tubuhnya yang lain.

"Sebenernya gue ngerti! Gue paham!"

Masalahnya Karen yang tidak mengerti! Karen menapakkan bokongnya diatas rumput-rumput basah. Duduk berdampingan dengan Abigail. Mata itu menyorot memprihatinkan. Karen tidak mengerti, sama sekali.

"Sebenernya gue pengen nanya. Pengen negur lo! Cuma gue sadar. Gue orang lain... se-baik-nya gue nunggu lo yang ngomong" wajah nelangsa itu melihat paha Adel. Tidak! Bukan tatapan mesum melainkan penyesalan. Rasa sesal yang menyakitkan -seperti duri-duri yang tertancap di daging kaki sendiri. Perih.

"Gue pernah bilang kalau -Ada gue dan temen-temen lo! Gue ada buat lo. Nyatanya, lo tetep sendirian." Abigail menyentuh paha Adel yang terbungkus rok sekolah. "Ini buktinya."

Adel menggeleng lemah.
"Pada akhirnya, gue selalu gagal."

Runtuh sudah pertahanan Karen. Serpihan yang jatuh: demi meluruhkan gemuruh penolakan orang tua dan kakaknya. Serpihan yang jatuh: demi menolak pemikiran kurang ajar yang bersarang di kepala Abigail. Juga ribuan caci maki untuk dirinya sendiri. Baginya, Abigail sudah banyak berbuat baik. Seorang Adel bahkan mencari eksistensinya demi menghangatkan hati dan mewaraskan pikirannya. Abigail tidak salah! Sama sekali...

"Hei. Jangan nangis."

Abigail mengusap surai Karen. Sementara Karen sibuk dengan dirinya sendiri, menenggelamkan wajahnya diantara telapak tangan panjangnya, menenggelamkan keresahan hatinya diantara tangis.

5 menit...

10 menit...

Karen mengusap air matanya. Mengorek sisa tisu yang bersarang dalam ranselnya.

KareninaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang