Garis lurus yang kamu mau.
Memberikan jejak empedu yang pilu.
Tapi aku tau.
Pernah ada aku dalam hatimu
"Kok Cuma 35 rebu."
Adel melotot tidak percaya. Oh Tuhan, ia bahkan menyerahkan semua uang dan tidak memikirkan 'ongkos ojek' untuk pulang. Buku-buku tangan Adel tampak memutih antara amarah dan takut yang berlebih. Ia mencoba menenangkan kakinya yang sudah gemetar melihat pandangan teman si preman yang menelanjanginya.
"Kerja dong om kalok mau punya duit. Mata lo juga jangan kemana-mana." Sambil meraup muka si preman dengan kasar. Good. Itu hanya bayangan yang akan Adel lakukan jika berani.
"Ma-maaf." Cicitnya.
Lelaki yang perkiraannya seusia dengan ayahnya tampak kesal sedangkan pemuda yang ia taksir berusia hampir sama dengan kakaknya menyeringai. "Gimana sebagai gantinya kita main aja, cantik." Ia memandang Adel penuh kilatan nafsu. "Gak kasar kok. Dan oh ya, usiaku mungkin Cuma terpaut 5 tahunan sama lo. Kelas 10 'kan?"
Yang benar saja. Adel merasa ini adalah akhir dari hidupnya. Pemuda dengan jaket belel, celana bolong, dan rambut acak-acakan itu mulai berani menggerayangi tubuh Adel. Adel langsung lunglai. Kaki dan tangannya bergetar hebat. Ia merasakan jantungnya berdegup maraton. Keinginannya untuk lari rupanya diwakilkan oleh detak jantungnya. Beberapa orang yang melihatnya hanya menyingkir dan memandang kasihan. 'Oh pandangan itu lagi'. Ia benci-sebenci-bencinya menjadi lemah dan tak berarti.
"B-a-ang, be-besok s-sa-saya k-ka-sih u-ung-uang lagi deh" Adel sudah tak dapat mengendalikan air matanya saat lelaki tak sopan itu mencium rambut panjang sebahunya. Adel menyesali perbuatannya meminta Angga tidak mengantarnya seperti biasa. Mungkinkah ia akan mati saat ini? Atau sakitnya akan bertambah parah?
Adel merasa detak jantungnya tak biasa.
Seseorang memegang bahu Adel yang gemetar. Bukan, bukan lelaki dengan Jaket belel atau pria paruh baya dengan tindik dan tato di lehernya. Adel merapatkan sweeternya. Jika harus terjadi maka terjadilah. 'Toh nanti ia bisa segera punya alasan untuk mengakhiri hidupnya'. Great.
"Bang, maafin pacar saya." Suara itu berhasil mengusik batin Adel. Adel memandang risih lelaki yang saat ini merengkuh bahunya. Adel mencoba menepis tangan lelaki yang bertengger dipundaknya.
Ia menatap lelaki itu nanar.
"Jangan sentuh saya."
Lelaki itu memandang Adel heran. Adel tampak pucat dengan bibir dan seluruh badan yang gemetar. Jika saja ia lepaskan rengkuhan itu, maka Adel akan terjerembab ke tanah beraspal. Lelaki itu mencoba tak acuh pada sikap Adel. Toh, ia cuma berusaha membantu orang yang sedang kesusahan kan?
"Oh, ini pacar lo, bray. Beneran, cantik?" pria dengan jaket belel mendekati Adel. Ia mengangkat dagu Adel tinggi-tinggi.
Adel bungkam.
"Ja-jang-ngan se-sen-tuh s-saya." Cicit Adel memohon.
Sudah cukup. Adel tak kuat lagi. Ia menepis tangan lelaki yang rupanya berseragam sama dengannya, lalu mencengkram kasar tangan preman yang berani menyentuh kulit mulusnya. Adel lunglai. Ia jatuh terduduk. Seketika itu gelap. Adel masih sadar dengan suara-suara bising berdebum tapi matanya sudah menutup dan tak bisa dibuka lagi. 'Tuhan, apakah aku akan ke surga?'
***
'Percayalah, bahwa semua punya cerita.'
Adelle Karenina Wijaya
3 tahun silam.
Hallo saya datang lagi.
Jangan lupa vote dan komennya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karenina
ChickLitPercaya butuh kekuatan ekstra. Kamu tidak akan pernah tau dimana titik kepastian yang fakta atau mungkin kau tak pernah mengerti bahwa yang pasti takkan muncul sama sekali. "JANGAN SENTUH SAYA." Dan bahkan kamu tidak akan pernah membayangkan bagaima...