"Pada akhirnya, segala kesalahan akan dilimpahkan kepada perempuan. Bahkan ungkapan perempuan yang selalu benar hanyalah sebuah candaan yang sangat lamis"
***
Telvon?
Nggak!
Telvon?
Nggak!
Gengsi? Perempuan tentu memiliki stok gengsi paling tinggi. Tidak salah tentunya. Hell! Perempuan itu makhluk mulia.
Adel tenggelam dalam malam. Memasuki selimut biru favoritnya. Menciumi bau-bau lembut yang familiar. Ia ingin menanyai alasan Abigail menghilang siang itu. Apakah Abigail ilfeel dengan Adel? Apakah Abigail kesal dengan perilaku Adel? Atau kah, apa Adel tampak gila? Sinting? Tidak waras?
Tring...
1 pesan.
Adel tersenyum memandangi notifikasi pesan di hpnya, yang kemudian berubah beringas dengan tampang menyebalkan. Sungguh! Qilla sangat mengganggu dirinya yang sedang on mode galau. Adel menghembuskan napas keras-keras. Membuka pesan dari Qilla.
'Karen gue putus... apa gue mati aja, ya?'
GILA.
Pesan singkat yang benar-benar gila. Karen membaca sekali lagi pesan Qilla. Sekali lagi... sekali lagi... Ia menggelengkan kepala. Gimana bisa hanya karena 'putus' Qilla memilih mati. Hey. Nyawanya tentu lebih berharga. Galau boleh! Bego jangan.
'Jangan macem-macem. Sini cerita ke gue. Barangkali curhat bisa sedikit nenangin lo.'
Ia mengirim pesannya kepada Qilla. Menunggu beberapa menit.
'Gue udah gak ada harganya, Ren.'
Emang nyawa kayak teri yang dikasih harga terus ditawar-tawar?
Bolehkah Adel membalasanya begitu?
'Please jangan berfikir sesingkat itu dan ngambil keputusan yang jelas merugikan buat lo dan orang-orang yang sayang sama lo.'
Adel langsung menerima panggilan dari Qilla. Pesan yang hampir dia kirim berakhir dalam kotak konsep.
***
Angin malam berhembus. Bulu-bulu meremang memandangi langit yang kian suram. Karen menatap jalanan kompleks yang tampak sepi. Sudah malam, namun Qilla dengan sejuta kenekatannya mendatangi Karen dengan raut wajah berantakan.
Karen mengusap wajah sembab Qilla. Ia menatap dalam perempuan yang masih setia sesenggukan. Perempuan ceria yang tampak tidak punya masalah. Ia menggelengkan kepala. Bukan hanya dirinya yang punya masalah. Orang lain tentu juga punya karena mereka manusia.
"G-gue malu..."
Karen mengernyit.
"Karen, andai lo tau apa yang gue lakuin. Lo pasti bakal benci sama gue. Lo bakal mandang gue sebelah mata sama dengan dia dan orang lain... gue gak bisa ngasih tau lo, tapi gue gak kuat mendam ini sendirian."
Angin malam semakin membuat kedinginan. Karen menghembuskan napas keras-keras. Baginya, Qilla adalah saudara. Namun, ia tidak akan pernah memaksa Qilla untuk berterus terang. Cukup. Ia berada di dekat Qilla dan menenangkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karenina
Literatura KobiecaPercaya butuh kekuatan ekstra. Kamu tidak akan pernah tau dimana titik kepastian yang fakta atau mungkin kau tak pernah mengerti bahwa yang pasti takkan muncul sama sekali. "JANGAN SENTUH SAYA." Dan bahkan kamu tidak akan pernah membayangkan bagaima...