Hilang (Part 9)

80 4 4
                                    

Jangan lupa vote dan komennya guys...

***



"Kamu udah bangun?" Tanya lelaki itu bersamaan dengan ke dua bola mata Adel yang mengerjap-ngerjap. Adel mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke bola matanya. Ia menatap lelaki di samping tempat tidurnya.

"Kak Leon." ucap Adel memeluk lelaki itu. Tangisnya pecah dalam keheningan.

Semua yang berada di ruangan tak sanggup bersuara. Bisu mencekik relung-relung kegelisahan. Mereka takut mengganggu Adel. Pertanyaan yang tertata rapi mereka simpan rapat-rapat.

Leon mengusap surai Adel menenangkan. Leon, Abigail, Qilla, dan salah satu petugas PMR bernapas lega. Adel akhirnya sadarkan diri setelah pingsan selama hampir satu jam. Abigail mendekat ke arah Adel, namun Qilla menahannya. Qilla merasa saat ini yang dibutuhkan Adel hanyalah penyemangat serupa Leon. Adel hanya perlu menangis dengan Leon di sampingnya.

"Udah jangan nangis." Leon berujar sambil mengelus rambut Adel lembut.

Melengos. Qilla tak sanggup melihat kasih sayang Leon kepada Adel. 'Ah! Ternyata perasaan itu masih ada'. Mencoba mengalihkan pandangannya. Setidaknya, ia dapat mengamankan hatinya agar tidak kembali hancur karena Leon. "Ayo kita keluar."

Abigail mengangguk. Ia mengikuti Qilla keluar UKS. Petugas PMR itu juga mengikuti mereka. Ia cukup tau diri untuk pergi.

Diruangan serba putih dengan gorden pembatas hijau itu. Adel dan Leon membisu. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tangisan Adel sudah berhenti sejak beberapa menit yang lalu. Wajahnya masih basah, hidungnya juga memerah sisa menangis.

"Sekarang, Kamu bisa cerita sama kakak Karen." Leon menatap Adel serius.

Karen menatap Leon sebentar.

"Gak ada yang perlu diceritain kak."

Leon mendesah kecewa. Adel yang seperti ini yang ia tak suka. Sungguh, sangat kentara dengan ketertutupan. "Karen."

"Kak, Karen mohon jangan sampek Karen merasa gak nyaman sama Kakak."

"Karen, Kakak cuma gak mau kamu kayak gini."

"Kayak gini gimana kak? Karen ngerasa baik-baik aja kok." Ucap Karen hampir menjerit.

"Oh ayolah."

Karen melengos.

Leon tampak frustasi. Rambutnya acak-acakan. Ia benar-benar lelah menghadapi Adel yang selalu bungkam. Bahkan Angga tidak mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Leon mengerti ada yang tidak beres. Namun semuanya terasa abu-abu.

"Siapa Dion?

Adel nampak terkejut. Sungguh ia benci, nama itu. Dadanya terasa sesak seakan udara masuk berdesak-desakan. Napasnya naik turun menahan emosi.

"Apa tadi aku menyebut nama Dion" tanya Adel memicingkan matanya. 'Oh sepertinya ini bencana.'

Leon mengangguk. "Jadi bisa kamu jelaskan ada apa dengan nama itu?"

Adel menghela napas gusar. "A-aku ti-tidak ta-tau harus menjelaskan apa, Kak."

Kedua bola mata Adel tampak nyalang. Ketakutan merasuk dalam setiap persendiannya. Ia merasa sesak napas. Tangannya sudah bergetar dari tadi.

"Karen, kamu gak papa?" Tanya Leon cemas.

Adel menggelengkan kepalanya. "A-aku gak papa. A-aku mungkin cum-cuma butuh wa-waktu buat istirahat." Setelah menuntaskan kalimatnya, Adel membaringkan tubuhnya membelakangi Leon.

"Karen, kamu percaya kakak kan? Kamu bebas diam setidaknya sampai kamu siap mengungkapkan semuanya." Leon beranjak dari tempatnya. "Kamu hanya belum siap. Kakak percaya kalau kamu mempercayai kakak." Leon pergi dengan perasaan yang campur aduk.

Adel menahan tangisnya. "Aku percaya. Aku percaya. A-aku percaya." Ucap Adel berkali-kali.

"Tapi Aku takut kakak anggap gila." Ucap Adel sendu penuh kesakitan.

***

Qilla menghampiri Leon yang keluar dengan tampang kusut. Qilla diam. Ia menyibak gemuruh menyakitkan dari hatinya. Lihat! -pria yang dicintainya tampak sangat berantakan- Tentu saja hatinya terasa dipilin.

"Kak."

Leon mendongakkan wajahnya. Ia menatap perempuan yang berdiri di depannya. Cukup terkejut. Mengingat tentang masalah hati yang belum sepenuhnya selesai bersama perempuan itu. "Abigail mana?" Pertanyaan itu muncul untuk mengalihkan gejolak batinnya.

"Abigail lagi ke kantin. Katanya mau beliin Adel bubur."

Leon mengangguk kemudian berdehem untuk menetralkan detak jantungnya.

"Oh ya udah." Leon merutuki suaranya yang tercekik tadi.

"Suara kakak kenapa? Kakak sakit?"

"Nggak papa."

Leon berlalu begitu saja meninggalkan Qilla. Ia tidak ingin membahas hal-hal yang tidak perlu. Sudah, cukup! Kisahnya dengan perempuan itu hanya masalalu. Sebuah romansa yang tidak pernah tuntas dan mempunyai kedudukan. Mereka hanyalah insan yang dipenuhi kasih tanpa tau bagaimana perasaan salah satu dari mereka. Mereka benar-benar hilang dengan cinta yang dianggap dan tak punya haluan. Cinta tak terbalaskan.

"Ah, siapa aku yang berhak mengkhawatirkan kakak?" Qilla mendongakkan wajah. Ia tidak ingin menangis untuk saat ini. "Kamu udah punya Kevin Qilla."

Ia mencoba menegarkan diri dengan nama Kevin. Meskipun ia sendiri tahu, Kevin juga orang yang menghancurkan dirinya meski bukan hatinya. Kevin sudah memiliki Qilla meski tidak seutuhnya.

***

KareninaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang