Gemericik (Part 10)

79 3 5
                                    



Aku dan Ketakutan



Dinding putih, selimut putih, serta gorden berwarna biru pekat ini, membuatnya sesak napas. Bau obat-obatan membuat ia-muak. Ia seperti seorang perempuan pesakitan yang memperihatinkan. Perempuan yang tampak tegar namun penyakit ganas menggerogoti setiap inci tubuh bagian dalamnya. Kamar ini menjadi derita yang menekan-nekan ruang dihati beserta mental. Sudah hampir dua minggu, ia menjadi bagian dari salah satu mahluk gila yang tinggal disini. Beberapa tahun lalu pun demikian.

Keluarganya tak menganggap dirinya lebih berharga.

"Sayang." Perempuan paruh baya itu memandangnya sendu.

"Pergi!"

Perempuan itu tetap mendekat. Mengikis jarak yang jauh. Napasnya tersengal menahan air mata yang siap tumpah. Perih. Tikaman kebencian ini harus ditelan bulat-bulat agar puterinya sembuh. Ia tidak mau kehilangan puterinya.

"Karen, ayo makan."

Karen bungkam.

"Karen bisakah kamu menghargai mama. Mama sudah jauh-jauh pulang ke rumah buat masakin kamu. Biar kamu bisa makan enak."

Sesak di dadanya semakin terasa. Ia memejamkan mata. Suara-suara itu terdengar jelas diantara telinga kanan dan kirinya. Siapa yang meminta perempuan itu repot-repot pulang ke rumah hanya untuk memasakkan sesuatu untuknya? Siapa yang menyuruh perempuan itu berpura-pura peduli? Dan siapa di sini yang seharusnya berteriak TIDAK DIHARGAI sebagai keluarga? Bukankah seharusnya dirinya?

"AKU BENCI KAMU! PERGI!"

Karen menatap bengis perempuan itu. Dadanya naik turun menahan amarah yang membuncah. Matanya memerah. Sesuatu itu sepertinya bergelora di dasar jiwanya. Cinta? Sayang? Kebencian? Bukankah sudah semestinya seorang anak memandang orang tua mereka dengan penuh cinta-kasih? Bukankah seharusnya mereka saling sayang-menyayangi? Namun kebencian itu seakan lebih luas dari sekedar pelukisan kasih-sayang dan cinta yang semestinya ia tumpahkan.

"AKU BENCI!"

Karen mulai tak dapat mengontrol emosinya lagi. Tangan beserta tubuhnya bergetar hebat. Matanya nyalang menatap apapun yang berada disekitar untuk dilemparkan. Vas bunga di atas nakas! Ia mengambilnya tanpa pikir panjang. Melemparkan sekuat tenaga tepat di depan muka mamanya. Oh! Sepertinya Karen benar-benar sudah pantas disebut gila sekarang akibat tindakannya.

Angga yang mendengar kegaduhan dari luar kamar segera menerobos masuk. Ia memandang tak percaya keadaan kamar Karen. Mamanya beringsut takut di pojok tembok. Angga menghampiri mamanya, ia mendapati kesedihan yang berlipat di wajah perempuan paruh baya itu.

"Karen, Kamu keterlaluan!" desis Angga.

"Kak, bilang sama dia. Kalau dia minta dihargai, apakah dia sudah menghargai Karen sebagai anaknya. Apakah Karen sudah dicintai sebagai puterinya. Miris sekali hidup gue, Tuhan!"

Mama Karen menatap puterinya sendu. "Karen mama sayang kamu makanya mama-"

"Apa? Masih gak malu nyebut diri lo sebagai mama gue. Mama? Hah!" Karen tertawa mencibir. "Sekarang lo mau ngomong apa? Lo mau ngomong dengan membuat gue menjalani terapi bodoh ini gue bisa sembuh? Lo mau ngomong dengan gue dihindarkan dari hiruk-pikuk dunia bisa kembali waras? Pernah gak sih, lo berpikir gimana perasaan seorang Karen ketika harus menerima dengan lapang pengurungan dari keluarganya sendiri?Pernah gak diotak lo terbersit gue itu anak lo yang mestinya lo cintai bukan dianggap gila satu keluarga? Lo itu dokter yang pintarkan? Tetapi sepertinya bodoh untuk mengetahui keinginan anak lo sendiri. Sadar gak sih!"

KareninaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang