Aku butuh orang yang membutuhkanku.-
Adel memasuki rumahnya dengan tergesa-gesa. Ia merasa napasnya direnggut secara paksa, takut, dan gemetar hebat. Ia harus segera menenggak obatnya atau melakukan ritual paling ampuh yang bisa menuntaskan sakitnya. Ia butuh sesuatu yang tajam; sepertinya obat tidak diperlukan.
Adel berjalan menuju dapur dengan kaki gemetaran. Melihat sekeliling. Ia harus menemukannya. Adel merutuki lukanya yang sudah mengering. Seharusnya luka itu tidak perlu diobati apalagi dijahit. Lagi-lagi adel memandang sekeliling dapur.
"Nomor kamu kok gak aktif, Ren?"
Adel hanya bungkam. Ia tidak peduli dengan pertanyaan dengan nada mengintimidasi tersebut. Ia hanya butuh pelampiasan. Ia butuh benda yang tajam lalu pergi menuju kamarnya. Bersenang-senang dengan kesakitan. Menikmati setiap luka yang tak pernah kering dari dasar hatinya. 'Ah, mana sih!' Adel merutuki kebodohan, kebutaan, serta reaksi tubuhnya yang tidak berhenti bergetar sejak tadi. Adel mengacak-acak dapurnya. Membuka lemari samping kanan, hasilnya nihil. Membuka lemari samping kiri, tetap nihil. Membuka lemari bagian paling bawah, tetap nihil. Matanya kembali berkeliling. Ia mengamati rak piring yang berada di bagian paling pojok dan berhasil. Matanya menangkap dua pisau buah yang bisa dijadikan mainannya untuk malam ini.
"Karen, kamu nyari apa?"
Adel berjalan tertatih-tatih mendekati rak piring.
"KARENINA, KAMU DENGER KAKAK NGOMONG GAK SIH!"
Adel bersimpuh mendengar teriakan Angga. Ia memeluk lututnya dengan tubuh yang semakin gemetaran. Adel beringsut dari tempatnya duduk. Berjalan dengan dada yang penuh gemuruh kecemasan. Tubuhnya sudah lemah dengan keringat yang keluar tanpa henti. Ia hanya butuh menghilangkan rasa sakit ini. Ia hanya butuh mengerjakan hobinya demi menekan rasa sakit dari dasar hatinya. Adel beringsut sedikit-demi sedikit. Ia berhasil. Ia hampir sampai.
"KAREN"
Merasa tidak digubris. Angga mendekati adiknya. Ia membalik ke dua bahu adiknya dengan kasar sampai Karen terhuyung ke samping. Angga mengangkat wajah Karen yang seperti bersimpuh di kakinya. Ia benar-benar tak suka diabaikan dengan adik manjanya ini.
"KA... Ren, Kamu kenapa? Hey!"
Runtuh sudah emosi sedari tadi yang menggerogoti jiwanya. Ia seakan ditarik paksa dari kehidupan melihat wajah adiknya yang sepucat mayat, keringat dingin yang meluncur bebas dari kening, serta air mata yang menumpuk di ke dua bola matanya. Angga juga merasakan getaran hebat dari bahu Karen.
"Ren, dengar kakak kan? Kamu kenapa? Cowok tadi nyakitin kamu? Apanya yang sakit?"
Angga ikut bersimpuh di depan Adel. Ia menarik bahu adiknya mendekat untuk dipeluk. Menenangkan Adel seperti biasanya. Memberikan bisikan-bisikan penyemangat. Angga tau! Untuk saat ini Adel hanya butuh penyemangat. Bukan emosi seperti yang ia tunjukkan tadi.
"Lepas!"
Angga melepaskan pelukannya."Karen, ada apa? Ini kakak..."
"Jangan sen...tuh." cicit Karen.
Angga mematung.
Adel mencoba untuk berdiri namun tersungkur. Mencoba berdiri lagi dan jatuh. Percobaan yang ketiga-kalinya ia berhasil. Ia segera mengambil pisau yang sedari tadi menjadi perhatian utamanya. Setelah itu, ia pergi meninggalkan kakaknya yang diam di posisinya.
***
Dua...
Tess..
KAMU SEDANG MEMBACA
Karenina
Chick-LitPercaya butuh kekuatan ekstra. Kamu tidak akan pernah tau dimana titik kepastian yang fakta atau mungkin kau tak pernah mengerti bahwa yang pasti takkan muncul sama sekali. "JANGAN SENTUH SAYA." Dan bahkan kamu tidak akan pernah membayangkan bagaima...