Faeyza

37 9 0
                                    

"Lo mau bawa gue kemana Ka?" Tanya Tasya khawatir. Pasalnya mereka sudah berjalan jauh masuk ke dalm hutan, bukan nyakembali ke sekolah.

Dekka tak menjawab. Cowok itu malah makin mengeratkan pegangan tangannya di pergelangan tangan Tasya. Ia bahkan tak menoleh sedikitpun saat gadis itu bertanya, . Tasya khawatir, apa jangan-jangan Dekka akan membawanya menuju tempat si jubah hitam?. Atau mungkin cowok itu akan berbuat yang tidak- tidak padanya?.

"Lo mau bawa gue kemana?" Suara Tasya bergetar. Ia takut Dekka akan membawanya pada si jubah hitam tersebut. Bukankah dia sendiri yang bilang kalau hutan ini adalah sarangnya?

Kali ini Dekka berbalik. Dilihatnya gadis itu menangis. Wajahnya memucat memperlihatkan ketakutan yang teramat sangat. Tetapi saat Dekka ingin menatap matanya ia menunduk. Cowok itu tak punya banyak waktu. Tetapi waktunya terbuang hanya karna meladeni gadis cengeng di hadapannya ini. Gadis itu masih menangis, jika tadi tanpa suara maka isak tangisnya bertambah kencang.

"Lo diem, atau mau gue bunuh disini?" Ucap Dekka dingin. Lantas ia mengeluarkan pisau lipat dari saku celananya.

Bukannya diam gadis itu malah tambah menangis. Ia berusaha melepaskan cengkeraman tangan Dekka dari pergelangan tangannya. Ia punya firasat buruk, apalagi saat melihat cowok itu mengeluarkan pisau lipat di sakunya. Mungkin hidupnya akan berakhir disini, di tempat mengerikkan ini. Mayatnya mungkin tak akan dapat ditemukan oleh siapapun.

"Ergghhh, diem atau mau gue bunuh?" Bentak Dekka kesal. Tangisan Tasya membuatnya emosi. Bagaimana jika dia tahu keberadaan mereka?..Bukan saja nyawa gadis itu yang terancam, tetapi juga dirinya.

Tasya bungkam. Ia dapat melihat wajah Dekka yang berubah merah, menandakan bahwa cowok itu benar- benar marah. Pisau yang di pegangnya tadi kini dimainkan di wajah mulus Tasya. Gadis itu menahan napasnya saat pisau tersebut berada di wajahnya, seolah menari-nari disana dan siap untuk merobek apapun. Dekka seolah tak peduli dengan tatapan mata Tasya yang seolah memohon untuk berhenti melakukan aksinya tersebut. Ia malah menjambak rambut Tasya, kemudian menampar gadis itu keras.

"Gue bilang diem yah diem!" Dekka membentak Tasya. Tangannya masih memainkan pisau tersebut di wajah Tasya. Sebelah tangannya yang lain menjambak rambut gadis itu ke belakang, tak ada rasa iba saat ia melihat sudut bibir gadis itu yang berdarah, juga tangisan didalam diamnya.

Tasya tercekat, ia tidak akan mengeluarkan suara nya lagi. Ia takut Dekka akan tambah menyiksanya, atau lebih parahnya lagi menusukkan pisau tajam tersebut ke wajahnya. Air mata Tasya turun dengan deras seolah menentang keadaannya yang tidak dapat berbuat apa-apa. Matanya bersitatap dengan iris abu-abu itu yang juga menatapnya tajam. Iris abu- abu yang penuh dengan aura kegelapan. Iris abu-abu yang misterius. Ia merasa sangat menyesal telah berusaha mencari tahu. Ia menyesal telah bertemu Dekka di pinggir sungai. Ia menyesal atas semua kecerobohannya, yang membawanya masuk kedalam masalah seperti ini, di situasi berbahaya ini, bersama Dekka yang misterius.

Dekka melunak. Ia dapat melihat raut wajah gadis itu yang ketakutan teramat sangat. Belum lagi sudut bibirnya yang berdarah. Ia perlahan menjatuhkan pisau ke tanah. Tatapan matanya berubah menjadi sendu. Ditatapnya gadis itu yang sedang menangis tanpa suara.

Ke...kenapa mirip sekali? Anastasya? Kenapa harus dia?

Ucap Dekka dalam hati. Ia teringat gadis itu saat dilihatnya iris cokelat gadis tersebut menjatuhkan kristal air dari kelopak matanya. Hatinya terenyuh. Memorinya kembali mengingat kepada masa lalunya, kenangan lamanya. Kenangan yang membuatnya menjadi seperti ini. Kenangan yang terus membuatnya tertatih dalam luka dan terus berjalan tanpa arah, kenangan yang mampu merubah hidupnya.

Iya! Kenangannya bersama gadis itu.

Lututnya bergetar seolah tak dapat menopang berat badannya sendiri, kakinya lemas. Memori lamanya kini memenuhi otaknya. Menggali lagi luka-luka dalam yang sudah terkubur. Luka-lukanya yang belum kering kini dibasahi lagi dengan kenangan itu. Gadis di hadapannya saat ini mengingatkannya lagi pada gadis itu, gadis yang selalu mengisi hari harinya. Gadisnya. si iris mata cokelat yang membuatnya mengerti bahwa hidup ini di kelilingi beberapa hal, yaitu cinta, luka, pengorbanan, pembalasan, kematian, dan juga...

DekkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang