Puzzle

27 8 0
                                    

"Faeyza?" Tanya Tasya heran. Pasalnya ia tak pernah mendengar nama tersebut, entahlah. Tapi mengapa terdengar begitu familiar?. Tasya sendiri tak mengerti mengapa hati kecilnya merespon berlebihan seolah meyakinkan dirinya bahwa Faeyza yang di maksud Dekka adalah seseorang yang pernah dikenalnya, atau mungkin pernah mampir di kehidupannya.

Tasya mengerlingkan dahinya heran. Seolah terjadi bentrok antara hati kecil dan juga otaknya. Tidak singkron memang. Hati kecilnya seolah mengatakan bahwa Faeyza itu begitu dekat dengan dirinya, entah kapan. Tapi sekali lagi otaknya membantah kehadiran sosok Faeyza tersebut dalam kehidupannya.

"Enggak!" jawab Tasya lagi. Ia akhirnya memutuskan untuk menjawab, ingin mendengar penjelasan Dekka selanjutnya tentang Faeyza.

"Ternyata harus bener -ener dimulai dari awal." gumam Dekka lebih kepada dirinya sendiri.

"Azalea, Aster, kelinci warna merah, tergantung indah di pot-pot tua di kusen jendela...," Dekka menjeda kalimatnya, sebelum melanjutkannya lagi.

"Aster, Lily, Cataleya, gubuk tua, origami, dan makna tersirat di dalamnya. Maksud mu apa? Aku tak mengerti. Tetapi jalan surga membawaku ke sini, bertemu dengan gubuk tua, lalu jatuh cinta. Tapi iblis datang, menghancurkan pot-pot bungaku yang tergantung indah, hamparan taman bungaku juga dibakar dengan api dari neraka yang dibawa olehnya. Aku...aku terlalu rapuh untuk melawan. Ingat! Aku tak sanggup melawan iblis, setahu mu ia tinggal di neraka, terpendam disana, terkutuk dan terbuang" ujar Dekka sembari perlahan berjalan mendekati Anastasya. Gadis itu yang sedang berdiri membelakangi Dekka pun menegang. Ia seolah pernah ingat dengan kalimat ini, tapi dimana?

Tasya berbalik menghadap Dekka. Aroma lavender yang entah datang darimana menyeruak. Ini menenangkan batinnya lagi. Tatapan mata Dekka yang tajam membuat Tasya ketakutan. Ia berjalan mundur saat Dekka semakin mendekatinya, mempersempit jarak antara mereka berdua.

Sampai saatnya pagar pembatas menjadi saksi bisu ketakutan Tasya. Lagi, tak ada jalan, buntu. Ia rasanya ingin lenyap saja saat jarak dirinya dan Dekka hanya terpaut beberapa centimeter. Tubuhnya menegang saat sorot mata cowok itu menatapnya dari atas sampai bawah, seolah ingin menelannya hidup-hidup. Sorot matanya berbeda sekali dengan tadi, seakan awas memperhatikan gerak gerik Tasya. Intens menatapnya seolah menuntut penjelasan lebih.

Tasya yang tak dapat berbuat apa-apa hanya dapat terbungkam, menunduk dan berusaha memahami lagi maksud kalimat rancu Dekka. Ia seolah tak paham, kalimatnya penuh dengan metafora. Ia menatap ujung sepatunya masih berusaha berpikir keras. Ia seolah tak asing dengan kalimat tersebut, tapi otaknya tak dapat sedikit pun menangkap bayangan dimana ia pernah mendengarnya. Ia terdiam membisu tak tahu harus berbuat apa-apa lagi.

"Anastasya Algistaria, dan aroma Lavender?" Ucap Dekka pelan. Ia sudah berada di hadapan Anastasya. Sedikit saja ia maju maka dada bidangnya akan terbentur dengan kepala Tasya, tak ada jarak.

"Lavender...," gumam Tasya pelan. Ia kembali menghirup dalam-dalam udara di sekitarnya, seolah Lavender yang di maksud Dekka adalah clue untuk dirinya.

Ia memejamkan matanya berusaha merileksasi dirinya sendiri. Perlahan yang muncul didalam pikirannya hanyalah tentang kesehariannya berkelebat memenuhi otaknya. Kegiatannya sehari-hari. Apa ada yang aneh? Tanyanya lebih kepada dirinya sendiri. Ia kembali berusaha fokus, dihirupnya udara di sekitarnya dan perlahan melepaskannya. Bagus, kali ini ada yang berbeda. Seolah memutar kembali kejadian masa lalunya. Tapi bukankah bayangan yang memenuhi otaknya kini terjadi beberapa tahun silam?. Ia ingat, ini tentang dirinya saat kelas 1 SMA. Kejadian yang tak akan pernah dirinya lupakan dalam hidupnya, walau mungkin menurut kebanyakan orang ini hanya kejadian biasa.

Saat itu dirinya sedang berjalan pulang sekolah. Lebih tepatnya jam 2 siang dan matahari tepat berada di atas kepala. Siang itu sedang terik- teriknya, seolah matahari memfokuskan cahayanya hanya pada satu titik di bumi yaitu tempat Tasya berada. Ia mengipasi tubuhnya dengan selembar buku yang sudah tak terpakai, lantas mengibas-ngibas kan buku tersebut ke wajahnya, ia sangat gerah.

DekkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang