Bab.3

6.8K 562 11
                                    

Oleh : Deary Romeesa

Thalysa Maharani
Berprofesi sebagai SPG Kosmetik di plazza salah satu mall terbesar di Jakarta, teman-teman mengusulkan agar aku ikut indekost biar irit ongkos. Tetapi, Bapak selalu khawatir akan kondisiku yang selalu didekati makhluk astral dari golongan jahat. Sebagian dari orang normal, yang mata batinnya tidak terbuka, berpikiran menjadi indigo itu keren sekali: bisa melihat apa yang seharusnya tak kasat mata.

Tapi untukku sendiri sangat menyiksa. Misalnya saja sore ini aku duduk berdampingan dengan Alexo di mobilnya yang mewah, ia memaksa mengantarku pulang dan ingin tahu apakah aku nyaman tinggal di kontrakkan orang tuanya yang menjadi tuan tanah, banyak sekali arwah berlalu lalang di tengah jalan. Entah itu memang penunggu di sana atau arwah korban kecelakaan yang mati di tempat. Rupa hantu jalanan itu benar-benar ringsek dan mengerikan.

"Sayang, tegang banget, sih? Takut ya Bapak kamu gak suka ma aku?" Suara bariton Alexo membuatku mengalihkan atensi ke wajahnya, "tenang aja! Aku kan bawa mobil." Bibir penuh nan sensualnya menyeringai.

Aku meringis. Ia tidak tahu saja barusan sudah menabrak wanita hamil yang hendak menyeberang. Jika wanita itu tak lekas menghilang, aku mungkin akan menjerit menyuruh pacarku berhenti. Beruntung, sekarang aku dapat mengendalikan air muka jika bertemu dengan setan. Belakangan, aku melihat hantu wanita hamil itu menampakkan wujud menakutkan di kaca spion ....

Sumpah, perutku bergejolak jika harus mendeskripsikannya.

"Apaan, sih? Emangnya bapak aku matre, huh?" ucapku tersinggung. Lebih baik aku kembali ke sekitar, acuh pada dunia mereka.

Tetapi, Ibu mungkin akan bangga bila anaknya mendapatkan pacar turunan konglomerat. Ah, sepertinya hubunganku dengan Alexo akan rumit.

Lihat saja perbedaannya, Alexo CEO perusahaan jam tangan branded walau ditugaskan di kantor cabang milik ayahnya. Sedangkan keluargaku rumah juga ngontrak. Kadang aku minder, namun menolak Alexo sama saja dengan bunuh diri. Yang kutahu, ia selalu berambisi untuk memiliki apa pun di dunia ini.

"Bukan gitu, Sayang, ya tapi kan normalnya memang begitu, kan," tukas Alexo cepat-cepat, "Kamu ngerti maksud aku, kan?"

"Iya. Aku paham, Beb." Aku tertawa. Ah, untuk apa pusing? Lagi pula hubungan kami masih seperti bakwan yang baru ditiriskan; hangat, harum, dan menggoda.

"Nah, gitu, dong. Ini baru Thalysaku yang pinter," pujinya. Saat itulah ia menghentikan ferarinya, kami sudah sampai di depan gang yang menuju rumahku.

Kami turun dari mobil mengkilat ini, para tetangga yang ada di depan rumah segera berbisik-bisik dan ada yang tersenyum. Di kampungku yang dulu, asumsi sinis para orang tua bila anak perawan punya pacar bawa mobil pasti kerjanya jadi jablay. Hih, apa mereka sedang menggosipkan aku sekarang? Sebal!

"Misi, Bu, Pak." Aku tetap beramah tamah. Alexo berjalan tegap di sampingku sambil tersenyum kecil.

Lihat bagaimana seorang pangeran berambut hitam dengan mata onyx tajam bersisian dengan aku yang hanya rakyat biasa, aku berseragam SPG putih dengan rok selutut sedang Alexo memakai setelan jas hitam yang bikin jadi tambah gagah. Kurasa, lelaki mana pun jika ada di posisinya akan sangat berbangga diri. Tampilan dan wajahnya yang manly benar-benar idaman setiap perawan dan janda.

"Aduh!" pekikku, kaget sendiri. Kepalaku kejedot apaan, ya?

"Kenapa, Yang?"

Aku cengo. Sibuk mengagumi wajah tampan pacar sempurnaku di umur yang baru 26 tahun, aku sampai tak melihat ke depan. Di hadapan sekarang ada hantu yang menghabisi jenisnya sendiri dengan mudah. Ia bahkan memiliki kekuatan untuk menghentikan laju kendaraan saat aku hampir celaka, tadi pagi.

ASMARA DUA DUNIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang