Bab.18 (Tamat)

5.1K 541 52
                                    

Aku Brian Zaer!

Saat membuka mata yang pertama kulihat adalah wajah mama dengan air mata tergenang dan muka merah padam. Ada papa juga, berdiri kuatir di samping mama. Mereka berpelukan dan berucap "allhamdullilah" saat melihatku menggerakkan tangan.

"Brian, kamu akhirnya sadar juga. Mau minum, ya?"

Mama mengambil gelas berisi air yang ada di atas meja dan menyorongkan ke mulutku yang terasa kering. Setelah teronggorokan terasa enak. Kurasakan tangan papa menggenggam erat.

"Syukurlah, Brian."

Menatap sekeliling kamar, bisa kutebak ada di rumah sakit. Belakangan aku tahu jika rumah sakit tempatku dirawat ada di Singapura. Sepanjang minggu setelah kesehatanku pulih, mama dan papa menemaniku. Dari mulai pemeriksaan awal hingga terapi. Setelah dokter dan tim medis menyatakan aku sehat, papa dan mama membawaku pulang ke Jakarta.

Aku koma selama enam tahun ternyata. Sungguh bukan waktu yang sebentar. Banyak hal yang aku lewatkan selama ini. Termasuk kelulusan sekolah. Teman-teman SMA datang menjengukku begitu tahu aku sadar. Isak tangis dan teriakan gembira keluar dari mulut mereka saat melihatku.

"Gue bahagia, Bro. Akhirnya lo sembuh," ucap Doni dengan wajah memelas. Dia memelukku dengan tangannya yang pendek. Maklum tubuhnya tidak setinggi aku.

"Halah, jangan percaya ama dia. Doni bahagia karena orang yang biasa traktir dia udah sembuh. Bisa makan enak lagi," sanggah Anton sambil tertawa.

Doni mengeplak kepala Anton dan dibalas lagi. Aku tertawa melihat mereka. Sungguh tidak berubah meski kini mereka sudah lulus sarjana. Anton bahkan sudah menjadi guru SD.

"Brian, akhirnya kamu sadar." Sebuah suara yang feminim menyapa ragu-ragu. Aku menoleh dan menatap wajah Kirana yang makin dewasa makin terlihat cantik. Jika tidak salah ingat, Kirana dulu dikabarkan naksir aku. Ugh! Anggap aku GR. Karena aku sama sekali tidak terpikir sekarang. Suara deheman terdengar saat Kirana mendekatiku. Kami bercakap sejenak sebelum disela oleh yang lain.

Sore itu, rumahku penuh oleh teman-teman yang datang silih berganti. Ada satu yang mengusik pikiranku, wajah seorang wanita cantik yang selalu muncul dalam mimpi-mimpiku. Wajahnya yang tersenyum, tertawa, menangis. Aku bahkan bisa menghitung titik-titik keringat di wajahnya. Koq bisa, ya? Siapa dia?

Hal aneh lain yang terjadi setelah aku koma adalah aku bisa melihat makhluk halus. Pertama kali melihat mereka di RS Singapura, hantu wanita berwajah oriental dengan akrab mengajakku bercakap-cakap. Aku yang kaget nyaris terkencing ketakutan melihat kemunculannya. Duh, Tuhaan! Cobaan apa ini?

Polisi datang dua minggu kemudian. Selain untuk meminta keterangan kejadian enam tahun lalu juga meminta kesaksian atas pembunuhan Kak Yuki, tetangga sebelah rumah. Kejadian berlalu begitu cepat. Polisi menangkap pembunuh Kak Yuki yang ternyata adalah konglomerat yang juga menabrakku hingga koma.

Setelah persoalan pengadilan selesai, aku melanjutkan sekolah secara home scholling. Mama dan papa mendorongku untuk kuliah hukum tapi aku belum tahu ingin apa karena ada masalah yang mengganggu pikiranku, perihal wajah yang selalu muncul dari mimpi. Sering aku terbangun dengan tubuh bermandi keringat dan tangan seperti memeluknya. Siapa wanita itu?

Ingin mencari wanita itu tapi masalahnya di mana? Sedangkan siapa dia pun aku nggak tahu. Bagaimana harus mencarinya. Tidak ada ingatan mengenai apa pun selama enam tahun aku koma.

"Bos, situ ternyata orang kaya, ya?" Hantu kakek tua menyapaku dari pinggir jalan yang sepi saat aku baru saja pulang dari rumah Doni. Sial! Baru buka kaca spion ada saja yang mengganggu.

"Kakek kenal gue?" tanyaku memberanikan diri.

"Iyalah, siapa yang nggak kenal Zaer dan pasangannya yang pemberani," ucapnya sambil meringis. Memperlihatkan muka pucat dan gigi ompong.

ASMARA DUA DUNIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang