Bab. 1

15.1K 757 17
                                    

Oleh 

TERGODA HANTU GANTENG 1
Oleh : Deary Romeesa

~~~

THALYSA MAHARANI

Aku baru selesai mandi dan hendak memakai baju yang biasanya sudah kusiapkan di atas ranjang mungil yang baru dua bulan ini kutiduri. Namun, ke mana perginya dalamanku? Aku mencarinya ke sudut-sudut lantai, sela-sela lemari, dan kolong kasur. Raib!

Masa, sih, dimakan rayap? Pikirku konyol.

Aku pun memutuskan mengambilnya lagi di lemari yang terletak di samping dua daun kaca kamar baruku. Tiba-tiba aku terdiam saat ekor mata menangkap kain berwarna pink berkibar-kibar di atas pohon mangga berjenis Cengkir, mataku sekarang mungkin sudah melotot. Lalu terdengar suara tawa ....

Bukan berasal dari mulutku. Tentu saja itu tawa bocah porno berkepala plontos yang berwajah pucat pasi.

***

Aku Thalysa Maharani, umur 20 tahun, tinggi 160 cm dengan berat badan 47 kg. Anak tunggal Bapak Adi dan Ibu Ralisa yang masih berjualan mi tek-tek. Kami baru saja pindah ke pinggiran kota Jakarta dua bulan lalu. Ada lima bagian di dalam rumah kontrakkan bercat ungu muda ini, ruang tamu, dua kamar, tempat menonton TV, dan dapur. Di halaman depannya yang sempit berpagar besi pendek dengan pohon mangga yang sedang berbuah, di sisi kiri, tepat menghadap ke kamarku di depan.

Di sanalah tuyul itu tinggal.

Sebetulnya kami sudah hidup nomaden sejak aku berumur delapan tahun. Aku tahu bisa melihat makhluk astral adalah sebuah penyakit, bukan suatu kelebihan, yang mana aku juga tidak tahu apa kelebihannya, karena sepanjang hidupku mereka selalu menakut-nakuti dengan wajah dan rupa yang tak lagi dapat digambarkan.

Tahun terparah aku tak bisa mengendalikan diri adalah saat kami tinggal di daerah Kopo, Cikampek, Karawang. Rumah kontrakkan kami itu bekas jalanan masa lampau yang dipakai para hantu untuk berlalu lalang ke tujuan. Biar kuceritakan, meski di antara kalian tidak ada yang percaya akan makhluk halus itu, hantu juga suka belanja dan jalan-jalan, lho!

Gimana caranya? Nyopet!

Iya, sengaja nyolong uang manusia atau nemu di jalanan atau uang yang tak sengaja dijatuhkan, jika berpapasan ada hantu bisa langsung mereka rampas. Namun, ya itu juga sebagian. Mungkin yang lain-lainnya tidak begitu usil dan jahat.

Ok, aku mulai panik.

Aku takut kalian akan menganggapku aneh seperti teman sebayaku saat aku masih kecil, yang mana mereka selalu membuliku karena aku sering bercerita dan menggambar makhluk astral saat pelajaran melukis. Di sini aku ingin memulai hidup baru yang normal dengan berpura-pura tak melihat mereka.

Pun sekarang aku lebih suka melukis alis dan menambal kekurangan di wajah dengan make up. Daripada mengurusi tuyul dan sebagainya. Kupikir hidup di sini akan benar-benar senang karena dua minggu yang lalu aku bahkan mendapatkan pacar ganteng dan tajir! Waw!

***

Gawaiku berbunyi.

Alexo Adzelero
-Sayang, maaf gak bisa jemput kamu di tempat biasa, aku ada meeting. Semangat, ya!-

Usai membaca watsap dari pacarku, bergegas aku keluar dari kamar--aku sudah berpakaian--mengambil galah dari sisi kanan rumah dan mengambil celana dalamku yang disangkutkan di ranting pohon mangga. Memalukan!

"Eh, Mbak, ngejemurnya ekstrim banget di atas pohon!"

Aku terlonjak mendengar suara bapak-bapak yang lewat. Ya saalaam! Ember, tolong tutup kepalaku!

Aku hanya nyengir dengan wajah memerah. Mendadak tuyul itu juga nyembul di balik pohon, aku memelototinya. Ia tertawa riang lagi. Kugetok saja kepala botaknya dengan galah. Biar tahu rasa! Huh!

Celana dalam pun berhasil aku dapatkan meski sekarang malah kehilangan urat malu.

ARGH!

***

Kutelusuri jalan gang ini. Bertegur sapa dengan para tetangga baru dan judes kepada arwah-arwah penasaran. Alexo, usai pesannya tak kubalas, malah uring-uringan. Ia mengira aku ngambek. Aku jelaskan saja pada saat itu sedang sarapan jadi tidak sempat beraktivitas lain.

Biasanya ada tukang ojek di pengkolan depan yang mengantar ke jalan besar atau pasar.

"Bang, ojek!" kataku buru-buru.

Ada setan budeg yang mengikuti.

"Iya. Hayu, Mbak manis!"

Dia Bang Jeki, tukang ojek langgananku yang ramah bersahabat dan suka menggodaku. Wajahnya lumayan, sih, tidak jelek-jelek amat. Namun, sayang, bau ketek.

Aura jahat dari setan budeg ini semakin panas dan kuat. Bang Jeki hampir menabrak kawanan bebek dan oleng. Aku mengajaknya ngobrol untuk mengalihkan perhatian.

Usai sampai di jalan raya, Bang Jeki menurunkan aku.

"Tiati ya, Mbak manis. Yang tekun kerjanya biar bisa cepet-cepet ngehalalin Abang."

"Diiiih! *Meuni geuleuuuh!" Kukeluarkan kosa kata Bahasa Sundaku. Meski Bapak dan Ibu dari Sibolga, Sumatera, aku kan dilahirkan di Subang, Jawa Barat.

"Hehehehe ...." Bang Jeki cengengesan.

Bang Jeki pergi usai kubayar. Sekarang tinggal menunggu angkot. Gawaiku berbunyi.

"Iya, Beb, ini udah di jalan. Lagi nunggu angkot," terangku pada Alexo. Sebagai pacar dia perhatian sekali, aku senang.

Tanpa bisa kukendalikan, kaki ini berjalan sendiri ke tengah jalan, aura panas ada di belakang punggungku. Aku tidak mendengar suara Alexo lagi, mau pun suara kendaraan lain.

Lalu ....

Tiiiiiiin!

"Kyaaaaaaa ...!"

Bersamaan dengan suara klakson yang memekakkan, ada sebuah tangan yang sedingin es batu menarikku ke tepi jalan. Lalu, kejadian selanjutnya benar-benar membuatku menganga lebar.

ASMARA DUA DUNIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang