Bab.4

5.9K 524 35
                                    

Oleh : Nev Nov

Zaer, si hantu paling ganteng sekomplek!

Banyak yang tanya dan heran kenapa namaku Zaer, kubilang sama kalian nama lengkapku adalah : Brian Zaer. Aku ogah dipanggil Brian, lebih macho kalau Zaer. Singkat, padat dan maskulinnya dapat.

Aku nggak ingat gimana kehidupanku sebelum gentayangan gini. Dari awal mula aku bangkit sudah ada di sekitar sini dan itu dari bertahun-tahun lalu. Rumah Thalysa seingatku dulu adalah kebun kosong. Dibangun rumah sama pemiliknya dan tidak ada yang betah lama di sana. Mungkin karena di area rumah itu banyak sekali makhluk yang mondar-mandir bikin hawa jadi dingin, entahlah!

By the way, diibaratkan perang, hatiku sedang bergolak dan panas membara. Ingiiin gitu ngerjain orang sampai dia jungkir balik ketakutan tapi aku tahan demi Neng Lisa. Bisa-bisanya tuh orang bilang kalau nggak percaya sama makhluk gaib? Okee, coba dia ketemu sama si gantung, masih bisa ngomong gitu nggak dia? Manusia zaman sekarang bener sombong. Mereka selalu mikir ilmu pengetahuan dan uang bisa memutuskan segala hal termasuk hal gaib. Siapa butuh duit dia? Tanpa duit aku santai-santai aja. Mungkin juga dia pakai guna-guna makanya Neng Lisa mau pacaran padahal secara tampang jauh sama aku.

"Bang, kayaknya Neng Lisa marah, tuh! Abang sih, pakai acara ngerjain mobil pacarnya," gerutuan Tuyul terdengar dari tempatku bersantai.

"Jiah, baru gitu doang. Sebenarnya gue mau bikin dia kalang kabut trus terkencing-kencing pulang. Demi Neng Lisa gue tahan."

"Kalau dipikir lo payah, Bang. Ngerjain dia yang nggak bisa lihat kita. Nggak adil namanya." Kali ini si gantung yang bicara.

Aku jadi kesal sama mereka berdua, nggak ada yang dukung hubunganku sama Thalysa Malah sibuk nyalahin aku.

"Eih, Zulkifli! Ngomong lo sama pohon. Kemarin lo bilang gue harus berjuang demi cinta. Sekarang lo bilang gue nggak adil," sentakku kesal pada si Gantung.

Kurang ajarnya dia nggak bereaksi tetap duduk diam di dahan tepat di bawahku. Benaran hantu semprul dia.

"Zulkifli siapa, Bang?" tanya Tuyul heran.

"Siapa lagi? Tuh si jelek yang kurang kerjaan karena hidup susah mati gantung diri," tunjukku pada si Gantung.

"Lalu? Nama gue siapa, Bang?" tanya Tuyul lagi penuh harap sambil melayang di depanku.

"Lo? Nggak ada nama lain yang lebih keren dari si botak!" ucapku sambil mengacungkan dua jari.

"Nggak mau! Nama itu jelek, gue maunya dipanggil Albert."

"Puuuft! Albert tuyul melarat? Nggak cocok!"

Entah bagian mana yang salah dari kata-kataku, Tuyul dan si Gantung sekarang marah. Berdua menggoyang pohon kencang sekali.

"Namaku bukan Zulkifli tapi Steven!" Kali ini si Gantung yang meraung.

"Berisik!"

Kesal lihat mereka ribut, mending aku nyamperin Neng Lisa. Benar-benar deh, dekat mereka berdua bikin rusak mood. Kenapa juga aku punya teman makhluk-makhluk astral aneh keq mereka, sih?

Kulihat kamar Thalysa masih terang, bergerak cepat aku terbang menuju jendela kamarnya. Demi menjaga sopan santun aku mengetuk jendela lebih dulu. Sebagai lelaki yang baik, sopan santun harus tetap dijaga.

"Neng Lisa, bukain jendelanya, dong! Ini Abang."

Aku menunggu semenit nggak ada jawaban. Kuketuk lagi, dan sunyi. Wah, nggak bagus ini, masa aku dicuekin?

"Neng, Abang datang, nih? Bukain dong? Jangan ngambek, Sayang. Kamu mau apa? Cilok, cireng atau bakso? Abang beliin."

Aku menunggu dalam cemas dan ternyata rayuanku berhasil, nggak lama jendela terbuka dan nampak Thalysa dalam baju tidur merah mudanya. Bukan baju tidur sexy tapi jenis yang sopan menutupi badan. Wajahnya terlihat polos dan segar tanpa make-up yang selalu menutupi. Terus terang aku lebih suka memandang wajahnya tanpa polesan apa pun, cantiknya pakai banget.

ASMARA DUA DUNIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang