Bab.8

4.2K 508 18
                                    

Bab.8 by Nev Nov

Zaer, Hantu pujaan hati para cewek!

Dua hari terakhir hatiku merasa nggak enak banget. Ada semacam perasaan menyesal, bersalah tapi juga marah bersamaan. Semenjak peristiwa malam itu di rumah dukun, aku belum melihat sosok Thalysa. Dengar-dengar dari Aljabar, jin penjaga rumahnya, kalau Thalysa masih sakit. Aku marah karena dia hampir mati, menyesal karena nggak bisa menjaga dia baik-baik.

Kuamati rumahnya dari tempat dudukku, sepi, tidak banyak aktivitas. Kalau nggak malu dan segan sama orang tuanya, pingin ngetuk dan datang jenguk. Untuk memastikan dengan mata kepalaku sendiri, dia baik-baik saja.

"Jangan lupa, kalau jenguk bawa martabak," usul si Gantung.

"Kak Alysa nggak suka martabak, sukanya sop kulit kambing," sela si Tuyul dari puncak pohon.

"Benarkah? Dari mana lo tahu?" tanyaku heran pada si Tuyul.

Dia mengangkat bahunya. Melayang turun dari tempatnya nangkring dan hinggap di sampingku. "Pernah dengar mereka bicara soal itu, kalau nggak salah waktu Ibunya ke pasar ada ngomong ke penjual kalau anaknya suka makan sop kulit kambing."

Oh, jadi gitu. Thalysaku suka makan sop kulit kambing tapi gimana aku bisa beli? Sebagai makhluk gentayangan yang nggak jelas, aku nggak butuh makan jadi nggak perlu kerja juga untuk dapat uang. Bingung mikir uang bikin aku kesal.

"Gimana caranya dapat duit buat beliin dia oleh-oleh, ya?" Tanpa sadar aku menggumam.

"Jadi kuli bangunan," celetuk si Gantung.

"Jangaan! Jadi penjaga bangunan tua. Banyak yang minat, Abang kan hebat. Suruh bayar pakai duit."

"Ada cara lain nggak?"

Si Tuyul meringis di depanku. "Ada, Bang. Aku saja yang kerja dan Abang cukup jaga biar aku nggak ketangkap," ucapnya tanpa dosa.

Kujitak kepalanya dan dia menjerit kecil sambil menjauh.

"Jangan sekali-kali lo bilang mau nyolong, ya? Gue nggak mau ngasih Alysa duit haram!"

"Kan hanya saran dan menawarkan, Abang nggak mau ya udah, sih?"

Hatiku kesal karena ulah mereka. Terjadi sesuatu yang menarik perhatianku di atas rumah Thalysa. Ada banyak makhluk kecil yang terbang menyerbu dan berusaha menerobos masuk. Seperti peluru yang dimuntahkan oleh laras senjata mereka menukik tajam ke dalam rumah. Bunga mawar dan bambu kuning memang menakuti mereka tapi itu nggak banyak berpengaruh kalau jumlah mereka banyak dan yang ada di depanku, beneran sangat banyak. Kulihat Aljabar sedang berusaha mengusir mereka dengan menangkap dan membuangnya. Tampaknya dia kewalahan.

"Bang, itu...." tunjuk Tuyul gugup pada makhluk hitam, bersayap menyerupai kelelawar yang berterbangan di atap rumah kekasihku.

"Santet, sedang berusaha masuk! Sial, gue kesana dulu."

"Gue ikut, Bang," teriak Tuyul.

"Nggak, kalian berdua tetap di sini!"

Tak menunggu lama aku menguar di udara dan menjejakkan kaki di atas atap rumah Thalysa. Kuulurkan sulur api di tanganku. Aljabar sepertinya senang melihat kedatanganku karena dia mengacungkan dua lengannya. Jika dihitung jumlahnya lebih dari dua puluh biji dan mereka bukan makhluk sembarangan yang gampang musnah. Biasa dikirim untuk melukai manusia tanpa terlihat.

Kupecutkan sulur apiku ke udara, percikan api berpijar bagaikan ledakan kembang api. Pelan kurapalkan mantra pengikat. Makhluk kecil yang semula tidak suka dengan kehadiranku sepertinya mulai marah karena diusik. Kini perhatian mereka tertuju sepenuhnya padaku, bagus! Lebih mudah dihancurkan jika mereka bergerombol.

ASMARA DUA DUNIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang