» 32

3.9K 840 50
                                    

"Kak, makan."

"Taruh aja di situ."

Aku tidak mengubah posisi tidurku. Sebenarnya aku tidak mengantuk, tidak bisa tidur malah. Hanya tidak mood melakukan apa-apa—meringkuk sambil merapatkan selimutku

"Yang tadi belum dimakan," kata Haechan lagi.

"Udah kenyang," sahutku.

"Makan apa emang? Bantal?"

Aku tidak menjawab.

"Udah dua hari loh, emang sampe kapan Kak Erica kayak gini terus?"

Sudah dua hari, ya? Tidak terasa. Entah waktu yang bergulir cepat atau aku yang bergerak lambat, kejadian dimana aku berpisah dengan Jeffrey itu masih sangat jelas teringat. Bahkan bagaimana cara dia menyentuhku masih membekas. Tapi di saat yang sama aku merasa hampa.

Mungkin seperti ini yang disebut kehilangan.

"Bangun gih, aku suapin." Aku merasakan gerakan di tepi ranjangku, Haechan duduk di sana. Dia menarik selimutku tapi aku bertahan, berharap dia tahu kalau aku tidak mau diganggu.

"Kak."

"Keluar, Chan. Aku mau tidur."

"Udah dua hari Kak Erica tidur terus, gak pusing apa?"

"Berisik," cibirku.

"Makan dulu, tar aku keluar."

"Udah, tinggalin aja si situ, nanti aku makan sendiri."

"Gak. Cepet!" Haechan menarik lenganku hingga aku terpaksa bangun. "Nih, minum," katanya sambil memberiku segelas air.

"Tuh, megang gelas aja gemeteran gitu mau gak makan. Pengen cepet mati?" Omelnya sambil menyodorkan sesuap nasi di depan mulutku.

Aku mendengus pelan lalu memakan suapan Haechan.

"Boleh nunggu kabar Bang Jeff, tapi harus tetep makan, jaga kesehatan. Percuma juga kalo Bang Jeff ketemu tapi Kak Erica nya mati—aDUH jangan cubit-cubit ih, sakit!"

"Roa belum kasih kabar?" Tanyaku memastikan. Aku tahu persis apa jawabannya, tapi tidak ada salahnya berharap.

"Masih diusahain," jawab Haechan sambil menyuapiku lagi.

Ini sudah dua hari berlalu, dan masih belum ada perkembangan. At least, mereka menemukan jasadnya, jadi aku tidak akan berharap seperti ini, dan jujur saja pikiranku jadi bercabang kemana-mana.

"Percayain aja sama tim nya Kak Roa," kata Haechan. Aku mengangguk. Memangnya aku bisa apa? Berdoa pun aku lebih cenderung pesimis.

Bagaimanapun jurang tempat Jeffrey melompat itu lumayan curam. Sangat kecil kemungkinan kalau dia bisa selamat. Mungkin bisa, miracle exists, however. Tapi sepertinya sangat kecil harapan untuk bisa terhindar dari cidera parah yang berujung cacat permanen or something worse.

Tahu apa aku ini? Aku hanya manusia awam yang sibuk berspekulasi. But honestly, sincerely, I want him back safely—meskipun pada akhirnya dia akan pergi lagi untuk menebus semua perbuatannya.

"Kak Erica obatnya abis?" Tanya Haechan.

Aku melirik tabung kecil di atas meja, sudah kosong. Memang sudah habis sejak beberapa hari yang lalu, tapi aku terlalu malas untuk bilang. Lagipula hanya Om Henry yang tahu resepnya, dan aku yakin tidak akan diberi izin untuk bertemu dengannya.

"Nanti aku minta izin Kak Chris buat ke kota."

"Ngapain?"

"Ngambil obat," jawab Haechan. "Kalo aku yang pergi pasti boleh."

[1] Turtle Neck ; Kim Doyoung ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang