» 3

8.5K 1.3K 228
                                    

"Aku calon raja."

Om Henry dan aku serempak tertawa. Ngaco si Doyoung mah. Ngapain jadi raja di Vatikan? Jaman apa ini?

"Ah, aduduh." Saking kerasnya aku tertawa, soft lens ku lepas. Iya, aku selalu menangis saat tertawa. Bukan sekedar berair, tapi literally menangis, banjir. Jadi tidak heran kalau soft lens ku sering lepas.

Aku mengambil soft lens ku dari sudut mata, lalu lanjut tertawa. Padahal sudah tidak ada yang lucu. Om Henry saja sudah diam, menatap heran sekaligus takjub ke Doyoung.

Yang dapat kuartikan, mungkin Om Henry sedang menebak-nebak dari jaman apa Doyoung berasal. Om Henry memang se-out-of-the-box itu, jadi aku memaklumi kalau kadang pikirannya agak nyeleneh. Sama dengan Haechan. Kalau mereka bertemu, udah kayak panci ketemu tutup nya. Cocok.

"Irene."

Satu kata yang Doyoung ucapkan menghentikan tawaku. Apa tadi dia bilang?

"Irene," ulangnya. Kali ini dia bangkit dari duduknya lalu berlutut di depanku.

"K-kamu ngapain?" gugupku, dia tiba-tiba mendekatkan wajahnya.

"Itu.. mata Irene," katanya sambil menunjuk mataku.

"Bukan, bukan.." Thanks to Om Henry yang menarik Doyoung dari hadapanku. Aku sudah seperti tidak bisa bernafas karena jarak kami sangat dekat tadi. Bahkan Jeffrey tidak pernah seperti itu.

Fyi, Jeffrey adalah pacarku.

"Tapi-"

"Iya, matanya emang unik. Tapi itu bukan punya I-ir.. what?"

"Irene."

"Ya, itu, Irene. Tapi mata Erica asli, udah gitu sejak lahir."

Doyoung menatapku aneh, seketika membuatku tidak nyaman karena teringat masa-masa sekolahku dulu.

Sudah hampir empat tahun berlalu, tapi ingatan tentang buruknya perlakuan mereka terhadapku masih membekas. Hanya karena aku agak 'lain' dari mereka, mereka seenaknya mencibir, bahkan melakukan pelecehan fisik.

Aku menyandang heterochromia iridium, kedua irisku berbeda warna. Yang satu hitam kecoklatan, dan yang satu lagi berwarna biru laut.

Beberapa orang memandangnya unik, tapi beberapa yang lain lebih memilih bersikap sarkastik. Bahkan kadang mengaitkan kondisiku dengan hal-hal berbau takhayul dan sihir. Dangkal, pemikiran mereka benar-benar tidak berdasar.

Dan demi kenyamananku sendiri, akhirnya aku memutuskan untuk menggunakan soft lens untuk menutupi keunikanku yang kurasa lebih terasa seperti kutukan.

"Ngomong-ngomong, siapa Irene?" Tanya Om Henry.

Doyoung masih menatapku lalu menjawab, "Ratu."

Apa sih, makin ngaco aja si Doyoung.

◎◎◎
turtle neck
◎◎◎

"Kak Erica!"

Pintu kamarku terbuka kasar sampai menimbulkan suara berisik. Haechan, kebiasaan!

"Kak, masih hidup, kan?" tanyanya sambil mengusap dahiku.

"Masih, ah. Seneng aku mati?" sarkasku.

Dia malah tertawa, "Gak masalah sih-"

"HAECHAN!" Dan dia semakin tertawa. Dasar sialan.

"Udah sana keluar! Ganggu orang mau tidur aja!" Aku menarik selimutku sampai menutupi kepala lalu berbalik memunggungi Haechan.

[1] Turtle Neck ; Kim Doyoung ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang