» 22

4.7K 922 338
                                    

warning!
part terpanjang: 1900++ words
beware of typos
enjoy!
____________






"Udah gak usah nangis."

Aku hanya menoleh sekilas. Ucapan itu bukan untukku, tapi untuk Lisa. Gadis itu tengah mengobati luka di lengan Ten sambil sesenggukan.

"Cuma kesrempet," tambah Ten. Tapi Lisa bergeming.

Aku bisa merasakannya. Sebaik-baik apapun keadaan Ten, tetap saja, nyawanya hampir melayang.

"Kak, you okay?" Seorang pria menyodorkanku segelas air putih, tapi aku diam.

Aku sendiri pun sama. Kalut. Otakku masih sangat jelas mengingat bagaimana Ten tiba-tiba ambruk setelah bunyi nyaring yang keluar dari pistol orang yang bertamu ke rumahku. Bahkan tidak cukup sekali, berkali-kali. Bukan hanya dentingan peluru, tapi kaca-kaca yang pecah juga memperkeruh suasana malam yang seharusnya sepi.

Selebihnya aku tidak begitu ingat. Hanya percikan darah di lantai yang justru terulang berkali-kali di ingatanku.

Padahal aku sangat membencinya.

"Kak?"

Aku menoleh. Pria tadi masih mengangkat segelas air putih di depan wajahku.

"Makasih," kataku lirih lalu menerima air pemberian pria itu.

"Kok kamu bisa tau aku ada di rumah Erica gimana?" Tanya Ten.

Pria tadi tersenyum simpul sambil mengangkat bahunya sekilas, "Feeling," katanya. "Btw, aku belum denger ucapan makasih dari Kak Ten. Kalo gak ada aku, mungkin Kak Ten udah—yah, gak perlu dibahas," lanjutnya.

Ten melepas senyum kecil lalu kembali memandang Lisa yang mulai mengemasi obat-obatan kembali ke dalam kotaknya.

"Kamu dapet senjata kayak gitu tadi dari mana?" Tanya Ten.

"Ucapan terimakasihnya dulu," sahut pria itu.

Ten menghela nafas, "Oke, makasih Eric."

"Eric?" Aku memandang pria yang sedang tersenyum bangga di depanku ini.

"Yes, I'm Eric," katanya. "Kak Erica pasti sering denger namaku dari Haechan, kan?"

Aku mengangguk. Jadi ini Eric yang dulu sering disebut-sebut oleh Haechan?

"Btw, nama kita hampir sama. Erica, Eric," katanya lagi sambil menunjukku dan dirinya sendiri bergantian. "Jangan-jangan kita jodoh?" Lanjutnya.

"Eric, gak usah ngeselin," protes Lisa.

Eric tertawa hambar, "Bercanda kaaak," katanya. Kalau ku pikir-pikir, pantas saja Haechan suka menghabiskan waktunya dengan Eric. Mereka se-tipe.

Tapi, ngomong-ngomong, kalau dia Eric, berarti dia teman sekolah Haechan, kan? Tapi, bagaimana bisa seorang pelajar menyimpan senjata api?

Aku tadi tidak salah lihat, kan? Eric yang menyelamatkan Ten. Dia juga yang menembaki dua orang asing yang datang ke rumahku secara membabi buta—bahkan salah satu dari mereka tumbang di depanku. Dan mungkin kalau salah satu dari mereka tidak tumbang, adu peluru itu tidak akan berhenti dan mereka tidak akan pergi.

"Kak Erica?" Eric mengibaskan tangannya di depan wajahku.

"I-iya?"

"Ngelamunin apa?"

"Kamu.. siapa? Maksudku, kenapa kamu bisa punya—"

"Ini?" Tanyanya sambil memperlihatkan benda yang batu saja dia cabut dari something on his waist.

[1] Turtle Neck ; Kim Doyoung ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang