22- Sepeda Oh Sepeda

77 6 0
                                    

Hari-hari saya dalam menjalani hidup di MTs Vanila rasa stroberi dicampur cokelat ini, juga tidak luput dari perjalanan bersama sepeda kebanggaan saya yang selalu setia menemani saya untuk berangkat dan pulang dari gedung sekolah minimalis ini. Seperti biasa, saya tidak sendiri dalam perjalanan dengan kendaraan beroda dua yang bebas polusi ini, karena saya selalu dikawal oleh princess Lauzi, teman saya.

Lauzi ini teman semenjak saya duduk dibangku sekolah dasar, kemudian setelah lulus dari sekolah dasar, kebetulan kami melanjutkan di sekolah yang sama juga, yaitu MTs Vanila ini. Jadi, karena itu dia selalu samperin saya sebelum berangkat sekolah. Namun, biasanya justru saya yang menunggu dia datang ke rumah. Sembari velang-veleng, saya akan duduk di ruang tamu sambil gigit jari menunggu kedatangan Lauzi yang dapat saya lihat dari kaca jendela yang anti pecah dan anti karat. Kidding, biasa lah biar gak garing.

Setelah Lauzi datang bersama sepeda birunya, maka kami langsung bergegas untuk menuju gedung sekolah tercinta kami yang begitu minimalis. Dari kesekian kalinya kami bolak-balik ke sekolah macam bumerang, tentu kami pernah mengalami beberapa tragedi di sepanjang perjalanan yang tak kan pernah saya lupakan sepanjang perjalanan hidup saya. Bahkan, sepeda saya pun sampai saat ini masih ingat dengan beberapa tragedi kecil tersebut. Iya, sepeda saya adalah pengingat yang baik seperti pemiliknya.

Sombong dikit gak papa kan, yaaa?

Beberapa tragedi kecil tersebut akan saya ceritakan seperti pada poin-poin di bawah ini.

1. Cepetan, Keburu Telat!

Kalimat tersebut adalah ucapan yang dilontarkan oleh Lauzi kepada saya sewaktu kami sedang dalam perjalanan berangkat sekolah. Perasaan kami saat itu begitu gugup, kayak dikejar macan karena pedal sebelah kanan sepeda saya lepas dari bagiannya entah karena apa. Mungkin karena udah bosen kali, ya.

Awalnya, saya merasa ada sesuatu yang aneh ketika saya mengayuh sepeda tersebut. Entah rasanya gimana, saya lupa. Dan entah namanya perasaan apa. Mungkin saja perasaan cintrong.

Setelah merasakan kejanggalan tersebut, tepat pada saat kami melewati pertigaan jalan, pedal tersebut lepas dari bagiannya dan jatuh begitu saja. Dan jatuhnya itu imut banget tau gak sih.

"Zi! Tungguin gue!" teriak saya memanggil Lauzi.

Lauzi yang mengendarai sepeda dengan posisi di depan saya, seketika langsung berhenti saat mendengar teriakan saya. Dirinya langsung menengok ke belakang dimana saat itu saya telah turun dari sepeda untuk memeriksa pedal yang lepas tersebut.

"Kenapa lo?" tanya Lauzi.

"Pedal sepeda gue copot!" seru saya.

"Aduh!"

Lauzi pun segera mendekat ke arah saya, dan kemudian berusaha untuk membantu saya demi membenarkan pedal sepeda saya tersebut.

"Sini gue coba benerin," ujarnya.

"Nih!" balas saya sembari memberikan pedal sepeda yang lepas tersebut.

Dengan sigap, ia pun mencoba memasang pedal sepeda dengan salah satu bagian perangkat sepeda yang cocok dengan pedal, saya yakin kalian pasti mengerti. Ujung pedal yang bebentuk silinder itu, ia masukkan ke dalam bagian perangkat yang mengaitkannya dengan ujung pedal sepeda, kemudian mengencangkannya hingga erat agar tidak lepas lagi.

Namun, apalah daya ia bukan ahli sepeda. Jadi usaha yang ia lakukan hanyalah sia-sia. Rasanya amat sulit untuk mengaitkan hubungan antra pedal sepeda dengan pasangannya agar terpasang erat. Ya, mungkin yang jodohin bukan ahlinya kali, ya.

"Aduh, Zi. Gimana nih. Mana udah jam segini lagi," keluh saya.

"Ya gue juga bingung, Zel. Lo sih, pake acara copot segala tuh pedal," dengusnya.

Anti Mainstream School [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang