21 | Papa dan Kotak Bekal

291 35 113
                                    

Taka masih kekeuh untuk bisa mendekati Akira. Apapun caranya pasti akan dia lakukan agar bisa mendapat kesempatan untuk bersama perempuan itu. Termasuk dengan membuat alasan yang bodoh sekalipun.

“Papa mau ngapain sih sebenernya kesini?” Sekali lagi Hiroki bertanya dengan nada curiga. Pasalnya, laki-laki bersurai pirang yang ditakdirkan Tuhan untuk menjadi Papanya itu tidak biasa datang ke sekolahnya jika tidak ada sesuatu genting yang terjadi. Apalagi jam-jam seperti ini.

“Ck. Kan Papa udah bilang kalau mau nganterin bekal kamu yang ketinggalan. Kamu gimana sih, Nak?” jawab Taka dengan nada lembut yang dibuat-buat.

Kalau boleh jujur, Hiroki tidak sepenuhnya percaya dengan jawaban itu. Dia tidak sebodoh itu untuk menerima jawaban Papanya yang terdengar mengada-ada. Bekal yang ketinggalan? Oh, ayolah. Dia tentu tidak sepikun itu untuk mengingat siapa yang tadi pagi membeo tidak karuan sambil memasukkan kotak bekal ke dalam tasnya. Setelah sang Ayah―Tomoya―menyiapkan menu bekalnya tadi pagi, Taka lah yang memasukkan kota bekal itu sambil mendumal. Ceramah pagi menyebalkan yang Hiroki bahkan malas mengingatnya.

“Hiro nggak sebego Papa ya, pliss,” balas Hiroki sambil memutar bola matanya. “Kalau bekal Hiro ketinggalan, trus yang tadi di tas Hiro itu bekal siapa? Yang tadi dimakan Sapri itu bekal siapa? Itu bekal Hiro, Papaaaa.”

Merasa tidak punya jawaban yang tepat, Taka hanya bisa cengengesan sendiri sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. “Papa terkenal banget ya, Ki, di sekolah kamu. Tuh dengerin tuh-tuh temen-temen kamu pada ngomongin Papa. Kamu tuh harusnya ngerasa beruntung karena punya Papa yang terkenal seantero jagat raya begini,” ucap Taka berbangga diri. Sekaligus mengalihkan pembicaraan barusan.

Hiroki memutar bola matanya lagi. “Kalau mereka tahu Papa aslinya sebego apa, pasti mereka juga nyesel udah kayak gitu.”

Ya memang sih. Samar-samar Hiroki mendengar beberapa teman sekolahnya―khususnya para perempuan―tengah berbisik-bisik membicarakan Papanya. Mengelu-elukannya bak seorang bintang idola yang tengah kesasar di sekolahan.

“Ya ampuuun, itu kan Om Taka. Ganteng banget sih kalo dari deket.”

“Om Taka ganteng banget yah. Padahal dia udah bapak-bapak, anaknya udah seumuran kita, tapi masih keliatan muda aja dia.”

“Om Taka awet muda banget, siiiih. Sama sekali nggak kelihatan menua. Malah makin berumur makin ganteng abis.”

Ya, kurang lebih seperti itulah kedengarannya.

“Papa emang ganteng sih ya. Jadi ya gitu, anak cewek klepek-klepek semua Papa senyumin dikit aja.” Sekali lagi, kepercayaan diri Taka memang tidak ada tandingannya.

“Percuma ganteng kalau bego. Lagian gantengan Daddy lah kemana-mana,” sahut Hiroki cepat. Memuji sang Daddy yang menurutnya jauh lebih tampan.

Taka menjitak kepala Hiroki dengan gemas. Kalau soal ketampanan selalu saja Toru yang dibawa-bawa. Cemburu juga dia lama-lama. Muka Gachapin begitu dimana sih letak ketampanannya? “Kamu anaknya Papa apa anaknya Toru, sih?”

“Anak Daddy, dong. Hiro kan anak gantengnya Daddy, makanya ganteng kaya Daddy,” jawab Hiroki berbangga diri. “Daddy juga lebih sayang daripada Papa. Lebih pinter juga daripada Papa.”

Taka hanya mendecakkan lidah. Selaluuuu saja yang dibawa-bawa adalah soal ketampanan dan kepintaran. Toru yang lebih tampan dan keren ketimbang Taka. Lalu Taka yang lebih bego ketimbang Toru. Hah. Mungkin di mata Hiroki, perbedaan Daddy dan Papanya itu seperti langit dan aspal. Jauuuh sekali.

“Kalau nggak ada Papa, belum tentu kamu ketemu sama Daddy ganteng kamu itu. Jadi harusnya kamu itu inget mana yang kamu utamain. Papa apa Daddy?” dengus Taka kemudian.

Growing Up (Vol. 02)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang