36 | Memangnya Kamu Siapa?

172 26 69
                                    

“Makasih banget ya, Ra, udah dibantuin. Aku nggak tahu deh gimana jadinya kalau nggak ada kamu tadi,” ujar Masato berterimakasih pada Akira.

Akira jadi malu sendiri karena Masato terus-terusan mengucapkan terimakasih. “Mas, kamu tuh kebiasaan banget sih kalau ngomong makasih selalu diulang-ulang. Udah santai aja. Lagian aku juga seneng banget bisa bantuin. Toh di rumah juga nggak ngapa-ngapain. Jadi itung-itung sekalian refreshing,” jelasnya kemudian terkekeh.

Masato membalasnya dengan tawa kecil. “Iya deh iya. Ya udah, ini sekarang mau langsung pulang aja apa gimana? Atau kamu masih mau kemana gitu?”

“Ehmmm, kayaknya langsung pulang aja deh. Biar nanti Mas bisa langsung kasih hadiahnya ke anak-anak,” Akira berpendapat, “Semoga anak-anak suka ya sama hadiahnya,” lanjut Akira kemudian tersenyum meringis.

Ngomong-ngomong, mereka berdua sedang berada di salah satu mall pusat kota. Tadi Masato meminta Akira untuk menemaninya membeli hadiah untuk dua keponakannya, Eran dan Seira. Si sulung Eran kemarin lusa ulang tahun dan Masato belum sempat membelikannya hadiah. Dan karena Masato sangat menyayangi dua keponakannya itu, dia juga tidak lupa membelikan hadiah untuk Seira.

“Pasti suka deh, Ra. Kan yang milihin kamu.”

“Emang apa hubungannya? Kamu ada-ada aja sih, Mas,” balas Akira sambil tertawa. Untuk sesaat, Akira merasa perlu berterimakasih pada Masato karena telah mengajaknya kemari. Beberapa hari ini suasana hati Akira tidak begitu baik. Hal itu membuatnya uring-uringan dan suka marah-marah.

“Ya udah yuk, Mas, kita langsung pulang aja,” ajak Akira kemudian.

Masato menurut tanpa perlu berkomentar hal lainnya. Alhasil kedua orang yang sering digosipkan tengah menjalin hubungan itu benar-benar memilih pulang. Masato mengantar Akira terlebih dulu ke rumahnya.

“Ra, ehm... aku..”

“Kenapa, Mas?” tanya Akira kemudian menoleh ke samping.

Masato menggaruk rambutnya yang tak gatal. “Eung... nggak jadi deh. Lain kali aja,” jawabnya kemudian mengulum senyum.

Perempatan siku-siku―tak kasat mata―muncul di dahi Akira. Sepertinya ada yang ingin Masato sampaikan namun tidak jadi. “Ada apa, Mas? Kok kayaknya ada yang mau dibicarain?” tanya Akira memastikan.

“Enggak kok. Nggak ada apa-apa,” ujar Masato meyakinkan Akira, “Nggak terlalu penting kok. Lain kali aja.”

Akira masih tidak percaya. “Serius? Mumpung aku masih disini loh. Ntar takutnya kamu kepikiran nyampe rumah, trus jadi nggak bisa tidur gitu kan malah aku yang jadi ngerasa nggak enak,” guraunya ringan.

Tawa Masato mengalun lembut di telinga Akira. “Ntar kalau aku nggak bisa tidur, aku telfon kamu deh. Biar kamu nyanyiin lagu sampe aku bener-bener bisa tidur.” Laki-laki dengan surai berwarna kecoklatan asli itu tak kalah bergurau.

“Modusnya yaa bisa aja,” cibir Akira kemudian tertawa. “Ya udah nih aku beneran turun. Aku nggak ikut-ikutan loh kalau ntar malem Mas David beneran nggak bisa tidur.”

“Ya kamu dong yang harusnya tanggung jawab,” balas Masato dan Akira hanya menanggapinya dengan tawa. “Btw, sekali lagi makasih banget ya, Ra. Maaf udah ngerepotin kamu,” sambungnya.

“Santai aja, Mas. Kayak sama siapa aja, sih? Aku nggak merasa direpotkan kok. Lagian aku yang harusnya berterimakasih karena udah ditraktir makan malem,” ujar Akira sambil terkekeh, “Ya udah kalau gitu aku turun ya. Mas David nggak mau mampir dulu?”

Masato menggelengkan kepalanya dengan tidak ikhlas. Sejujurnya dia mau-mau saja, hanya saja rasanya tidak enak bertamu malam-malam. “Udah malem, Ra, nggak enak. Lain kali aja. Ya udah salam aja buat Om sama Tante,” ucapnya kalem.

Growing Up (Vol. 02)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang