27 | Hiroki dan Amarahnya

190 29 49
                                    

Setelah berselang dua hari, kekesalan Hiroki sudah mereda. Rambutnya pun sudah kembali sewarna arang. Hitam seperti semula. Namun sepertinya memang Tuhan memiliki rencana lain untuk kembali membuatnya bertemu dengan rasa jengkel yang luar biasa. Dia harus berhadapan kembali dengan Akira. Entah bagaimana, tapi selalu adaaaa saja masalahnya dengan perempuan itu.

“Oke, saya paham dan tahu betul kalau kalian pacaran. Tapi tolong bedakan, ini ruang lingkup sekolahan. Sekolah itu tempat buat belajar, bukan buat mesra-mesraan, cium-ciuman. Kalau di sekolahan aja kalian berani kaya gini, gimana di luar sekolah?”

Rahang Hiroki kembali mengeras mendengar penuturan Akira yang menurutnya sangat menyebalkan. Dia tidak akan membahas pemikiran Akira yang terlalu kolot soal kebutuhan anak muda dan segala tetek bengeknya itu. Yang ingin dia luruskan adalah fakta bahwa dirinya tidak melakukan semua yang Akira tuduhkan padanya.

Oh ayolah. Jangankan sampai berani mencium Aime, menggandeng tangannya saja dia hampir tidak pernah melakukannya. Bukannya apa-apa, tapi memang Taka yang sengaja membuat peraturan seperti itu. Tidak ada skinship yang melebihi batasan hingga umur mereka bisa dikatakan dewasa. Begitu katanya.

Ah, dan kenapa Aime dibawa-bawa? Karena memang inti permasalahan itu ada pada Hiroki dan Aime.

“Sekolah kita itu bukan sekolah yang cuma buat gaya-gayaan. Bukan sekolah yang cuma buat formalitas doang. Sekolah kita termasuk salah satu diantara lima belas sekolah terbaik di kota ini. Nah, kalau kalian saja kaya begini, mau jadi apa citra sekolah kita nantinya?”

Oke. Hiroki sudah benar-benar risih dengan segala kalimat Akira yang baginya sangat menyudutkan itu. “Bu, Ibu pernah nggak sih memandang sesuatu itu secara obyektif?” ucap Hiroki sambil menggertakkan giginya. Kelewat kesal, dia bahkan tidak merasa takut lagi dengan guru BK-nya itu.

Di sebelahnya, Aime masih menahan diri untuk bicara.

“Oke, kalau untuk kemarin saya terima-terima aja pas Ibu marahin, karena memang semua salah saya. Keteledoran saya sendiri. Tapi kalau yang ini? Ini bukan salah saya. Saya cuma korban fitnah, Bu.” Hiroki berkata lagi, masih dengan rasa kesal yang menyelubungi dadanya.

“Bu, saya tahu saya ataupun Hiroki bukan murid berprestasi yang selalu bisa membanggakan sekolah. Bukan murid yang dekat dengan para guru juga. Tapi saya mohon Ibu percaya sama kita. Setidaknya kali iniiii aja. Toh Bu Akira juga wali kelas kita.” Kali ini Aime memberanikan diri untuk bersuara. Memohon agar Akira mau mempercayai mereka.

Akira mengembuskan napas lelah. Sulit baginya untuk mempercayai pernyataan kedua anak didiknya itu. Pasalnya foto itu terlihat sangat nyata. Jadi rasanya sulit sekali untuk mengabaikannya. “Gimana saya nggak percaya kalau buktinya saja ada di depan mata? Foto itu, kalian pikir itu bukan buktinya?”

Hiroki mendecak sebal, “Ibu tahu kan jaman sekarang yang beginian itu udah marak banget? Foto bisa dimanipulasi kali, Bu.”

“Trus kalau menurut kalian kalian itu benar, kalian tidak melakukannya, apa kalian bisa ngasih bukti ke saya?” tantang Akira membuat Hiroki kembali ingin menyumpah.

Mengembuskan napas kasar, Hiroki mencoba meredam emosinya sendiri. Sementara Aime yang duduk di sampingnya tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia ingin membela diri, tapi baginya sulit sekali untuk berbicara lantang seperti biasa di depan Akira. Aime bukannya takut, dia hanya tidak tahu bagaimana menjelaskannya.

“Kenapa kami harus mencari bukti kalau posisinya kami tidak bersalah?” celetuk Hiroki memecah keheningan yang sempat tercipta selama sepersekian detik.

Akira menatap mata Hiroki. Dengan ringan perempuan itu menjawab, “Ya kalau kalian tidak bisa membuktikan pembelaan kalian, berarti memang kalian melakukannya.”

Growing Up (Vol. 02)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang