37 | Pukul Dua Siang

198 32 74
                                    

Pukul dua siang adalah waktu dimana siswa-siswi Tama High School mulai berhamburan keluar meninggalkan gedung sekolah. Mungkin tidak semuanya pulang karena sebagian dari mereka masih ada yang tinggal disana. Entah mengikuti ekstrakurikuler atau bahkan hanya sekedar mengobrol santai―sambil menikmati jaringan wifi gratis dari perpustakaan sekolah. Diantara dua jenis itu, Hiroki dan Aime adalah salah satunya. Bukan, bukannya mereka sedang menumpang wifi gratis. Mereka masih tinggal di kelas karena hari ini memang jadwal piket mereka yang kebetulan berbarengan.

“Ki, gue balik duluan nggak pa-pa, ‘kan? Banyak banget soalnya cucian di apartemen. Lagian Kak Toru kan juga lagi nggak di rumah,” ucap Aime sambil merapikan buku-buku di atas meja lalu memasukkannya ke dalam tas. Sementara Hiroki masih setia menungguinya sambil bermain ponsel.

“Ya kan Daddy emang lagi konser di luar negeri,” balas Hiroki tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponselnya, “Ya udah deh lo mending duluan aja nggak pa-pa.”

“Lo beneran nggak pa-pa, ‘kan?” tanya Aime sekali lagi untuk memastikan jawaban Hiroki.

“Iyaaa, gue nggak pa-pa. Lagian gue bukan bayi yang mesti dijagain 24 jam kali, Jurig.” Pemuda penggemar Minion itu mulai berdiri dari bangku setelah menyadari bahwa Aime sudah selesai merapikan barang-barangnya.

“Ya siapa tahu aja kan lo kangen gitu kalau gue tinggalin,” ungkap Aime percaya diri. Membuat Hiroki langsung mendelik menatapnya.

“Kagak lah. Siapa juga yang bakalan kangen?” elak Hiroki masih dengan tatapan mendelik tak setuju. “Gidah buruan pulang. Udah mendung juga, ntar lo kehujanan gue juga yang repot,” imbuhnya kemudian.

Baiklah, karena Hiroki sudah berkata seperti itu, maka Aime mengangguk saja. Jadi setelah dirinya merasa yakin dengan jawaban Hiroki, gadis beriris tajam itu berpamitan pada kekasihnya tersebut. “Oke, kalau gitu gue balik duluan ya, Ki. Kabarin gue kalau lo udah di rumah,” tuturnya kemudian melambaikan tangan, yang kemudian dibalas anggukan kepala oleh Hiroki. Detik berikutnya, gadis itu sudah melesat keluar kelas.

Sepeninggal Aime, Hiroki turut keluar kelas lalu berjalan sendirian menuruni sebuah tangga. Sesampainya di bordest tangga, langkahnya terhenti karena terhalang oleh dua orang siswa yang duduk memenuhi satu kotak tangga. Mereka berdua seolah asyik dengan dunia mereka sendiri. Menyumpal telinga dengan headphone sambil sesekali memeragakan orang yang sedang menggebuk drum dengan lincah. Ngomong-ngomong, mereka adalah Haruki dan Riku. Keduanya merupakan kakak kelas Hiroki.

“Permisi, Kak. Gue mau lewat, bisa geseran?” Dengan sopan Hiroki meminta izin untuk melewati mereka.

Namun tak ada sahutan. Dan pada akhirnya, Hiroki harus mengulang kembali kalimatnya. “Kak, maaf bisa geseran dikit? Gue mau lewat.”

Sayang sekali. Untuk kedua kalinya Hiroki kembali diacuhkan. Tidak cukup sampai disitu, bahkan mereka berdua malah semakin heboh dengan menghentak-hentakkan kaki sambil mengangguk-anggukkan kepala. Terlihat sengaja sekali melakukannya.

Karena merasa sedikit kehilangan kesabaran, akhirnya Hiroki kembali membuka mulutnya. Kali ini suara yang keluar lebih keras. “KAK, LO DENGER GUE APA SENGAJA NGEBUDEK, SIH?!”

Riku yang tersinggung mendengar teriakan Hiroki barusan langsung melepas headphone-nya. Berdiri dengan segera, pemuda itu meraih kerah seragam Hiroki dengan kasar. “APA BARUSAN LO BILANG?! LO BERANI NGATAIN GUE BUDEK, HAH?!” teriak Riku lantang. Pemuda itu lantas menyeret tubuh ringkih Hiroki dan membenturkannya ke tembok.

Hiroki meringis menahan sakit yang menjalar pada tulang punggungnya. Sementara Riku yang masih tidak terima dengan perkataan adik kelasnya tersebut terlihat sangat geram. Matanya lantas melirik papan nama yang tertera di seragam Hiroki. Sambil tersenyum miring, dia menganggukkan kepala beberapa kali.

Growing Up (Vol. 02)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang