25 | Papa dan Driver Grab

189 32 87
                                    

“Ya udah lah, Ki. Udah terlanjur juga, mau gimana lagi emang?” kata Aime sambil menepuk lengan Hiroki beberapa kali.

Hiroki masih enggan menimpali. Masih kesal saja rasanya. Hingga jam pelajaran Masato―Bahasa Inggris―selesai, yang kemudian dilanjutkan dengan pelajaran setelahnya, bahkan hingga jam istirahat tiba, rasa kesal di hati Hiroki masih belum reda juga.

“Akhir-akhir ini gue rasa Bu Akira emang makin galak sih.” Kaoru yang duduk berhadapan dengan Aime turut menimpali. Gadis bertubuh mungil itu turut prihatin juga atas insiden Hiroki beberapa saat lalu. Tapi ya mau bagaimana lagi.

“Bu Akira lagi PMS kali, Ki. Makanya jadi galak kaya macan Asia gitu.” Kidz juga ikut bersuara sebelum memasukkan sesendok nasi goreng ke mulutnya. Entah berniat melucu atau tidak soal perumpamaannya tentang macan Asia tadi, pemuda itu hanya berniat menghibur Hiroki. Sayang Hiroki tetap tidak tergugah.

Kantin pada saat jam istirahat memang tidak pernah jadi sepi. Riuh rendah terdengar disana-sini. Beberapa siswa-siswi berlalu lalang membawa nampan, mencari bangko kosong, dan yah... pemandangan khas kantin sekolah. Mereka berempat duduk dalam bangku yang berderet panjang. Dipisahkan oleh meja, Aime duduk di sebelah Hiroki, sementara Kidz dan Kaoru berhadapan dengan mereka.

“Kamu duduk disini apa disitu?” Teru yang baru saja muncul bersama Chichi bertanya pada gadis itu.

“Sini aja,” jawab Chichi kemudian meletakkan piring dan sebotol air mineral di atas meja. Gadis itu lantas mendudukkan diri di sebelah duo K―Kidz dan Kaoru―dengan segera. Dengan demikian Teru duduk di sebelah Aime.

“Makan dulu lah, Ki. Bu Akiranya dipikirin ntar aja. Ntar deh habis ini kita bantuin ngomong ke Bu Akira kalau lo keberatan dengan poin sebanyak itu.” Si crazy rich Teruki Nishizawa yang sedang mengaduk nasi sotonya berujar bijak pada Hiroki.

“Nah bener tuh kata Teru. Udah gih makan aja dulu. Kasian tuh perkedel buatan Ayah lo udah melambai-lambai dari tadi,” sambung Aime ikut menyetujui. “Seenggaknya kalau habis makan, lo punya tenaga buat ngelampiasin kemarahan lo ntar. Mau matahin sapu atau mau matahin kemoceng kek, ayok dah gue temenin ntar. Asal nggak matahin hati gue jadi berkeping-keping aja,” lanjutnya penting tak penting.

Hiroki yang masih cemberut menoleh pada Aime dengan ekspresi wajah tak terbaca.

“Kenapa, sih? Ada apaan? Kok gue nggak tahu.” Chichi yang baru saja akan memasukkan sesendok nasi ke mulutnya―namun tidak jadi―bertanya pada mereka. Chichi memang tidak sekelas dengan mereka, jadi dia tidak tahu menahu soal kejadian tadi pagi.

“Hiro kena BK gara-gara rambutnya,” jawab Kaoru sedikit lirih namun masih sampai di telinga Hiroki.

“Trus dimarahin gitu sama Bu Akira?”

Kaoru menganggukkan kepalanya.

“Masih mending kalau cuma dimarahin doang. Lah, dia ngasih poin 25 ke gue.” Kali ini Hiroki bersuara. “Kalau kemarin gue nggak kecapekan trus ketiduran sampek pagi, udah pasti gue balikkin rambut gue jadi item lagi,” tambahnya.

“Lo udah coba jelasin gitu ke Ibunya?” Chichi bertanya lagi.

“Percuma. Dijelasin kaya apapun Ibunya tetep nggak mau ngerti. Malah gue diancem mau dikasih poin tambahan 5 lagi kalau gue protes. Gila nggak, sih?”

“Wagelaseh.” Kidz menggelengkan kepalanya beberapa kali.

Kaoru hanya meliriknya sekilas. Sementara Aime semakin pusing. Gadis beriris mata tajam itu hanya bisa memijit pelipisnya sendiri.

“Bu Akira wali kelas kalian loh padahal. Kok dia setega itu ngasih poin 25 ke anaknya sendiri.” Kali ini  Kaoru berpendapat.

“Bu Akira kan emang teges orangnya. Nggak peduli siapapun, kalau emang menurut beliau ngelanggar tata tertib sekolah, ya bakal dikasih peringatan kan anaknya,” sahut Teru.

Growing Up (Vol. 02)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang