“Papa saya bikin masalah ya sama Bu Akira? Berantem mungkin?” tanya Hiroki tiba-tiba. Tak ada angin, tak ada hujan. Pemuda itu bertanya dengan entengnya.
Akira bingung harus memberikan respon seperti apa. Namun sebisa mungkin dia berusaha terlihat biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa. “Enggak kok. Ketemu aja nggak pernah, mana mungkin berantem. Ada-ada aja kamu ini,” jawabnya yang membuat Hiroki langsung meliriknya dengan tatapan menyipit. Rasanya jawaban Akira sedikit aneh. Dia kan tidak bertanya apakah mereka pernah bertemu atau tidak, kenapa Akira malah menjawab seperti itu?
“Emang terakhir ketemu kapan?” Hiroki masih berusaha mencari tahu.
“Ehm, pas di sekolah ngomongin kasus kamu yang waktu itu,” jawab Akira berdusta. Tak berselang lama dia membuang muka. Kentara sekali dia sedang berpura-pura.
Hiroki mengangguk saja. “Beberapa hari ini Papa saya rada aneh. Diem mulu di rumah, padahal biasanya nggak bisa diem. Diajakin ngobrol cuma bengong, diajakin makan malah pergi ke kamar. Trus kalau pas latihan sering salah lirik, datengnya juga suka nelat. Jadinya sering kena tegur sama Daddy. Daddy marah-marah karena Papa kalau dibilangin malah bengong. Murung kayak orang cacingan, nggak tahu kenapa,” ceritanya tiba-tiba. Entah apa tujuan pemuda itu sebenarnya.
“Mungkin Papa kamu lagi sakit kali,” jawab Akira pendek. Dia masih berpura-pura untuk tidak tahu apa-apa.
Hiroki mengangguk lagi. Sambil menatap lurus ke arah Akira, dia menjawab, “Iya. Papa saya emang lagi sakit kayaknya. Sakit hati.”
Akira sedikit menundukkan kepala. Sementara tangannya masih memegang sendok untuk mencampur makanan Hiroki. Ya, sejujurnya sejak tadi dia sedang menyuapi Hiroki.
“Lebih tepatnya sakit hati karena gagal mendapatkan perempuan yang disukainya.”
Akira menelan ludahnya dengan susah. Meski dirinya sedang menundukkan kepala, tapi dia cukup sadar bahwa Hiroki tengah menatapnya.
“Dan perempuan itu adalah Bu Akira.”
Kemudian hening. Baik Hiroki maupun Akira tidak ada lagi yang bersuara. Keduanya sama-sama bungkam entah karena apa. Namun pada beberapa detik setelahnya, Akira berusaha terkekeh dengan nada sumbang. “Kamu ini bicara apa sih, Ki? Saya nggak ngerti,” tukasnya berpura-pura bodoh. “Mending kamu lanjutin makan kamu trus istirahat lagi. Kamu kan belum pulih bener,” lanjutnya sambil mengarahkan sesendok nasi ke arah mulut Hiroki.
Hiroki memandang Akira sebentar. Baru setelahnya membuka mulut dan menerima suapan dari Akira. “Papa saya suka sama Bu Akira. Ah, bukan. Papa saya jatuh cinta sama Bu Akira,” ucapnya setelah berhasil menelan kunyahan makanannya yang terasa hambar. “Saya nggak mau lagi. Nggak enak,” lanjutnya mengomentari soal rasa makanan yang baru saja ditelannya.
Akira mengambil napas dalam-dalam untuk kemudian diembuskannya dengan perlahan. Namun sebelum dia sempat membalas perkataan Hiroki, pemuda itu kembali bersuara lagi.
“Sebelumnya saya nggak pernah lihat Papa semurung itu. Sejak pertemuan terakhir Papa dan Bu Akira, Papa saya kelihatan jadi kayak orang lain. Diem, galau, aneh ngelihatnya. Padahal sebelum-sebelumnya dia nggak pernah kayak gitu. Apalagi kalau habis telfon atau chatting-an sama Bu Akira, wajahnya sumringah banget. Cerah banget. Seolah dia baru aja ketemu sama belahan jiwanya yang udah lama ilang. Kalau nyeritain Ibu tuh gelagatnya kayak cacing kepanasan. Tapi tiba-tiba kemarin di rumah jadi kayak orang cacingan.”
“Hiroki, maaf. Bisa kita nggak usah bicarain soal itu? Kayaknya akan lebih baik kalau kita fokus aja sama keadaan kamu. Kamu butuh istirahat, karena kamu belum pulih bener.” Akira memang paling jago untuk soal mengelak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Growing Up (Vol. 02)
FanfictionSeiring berjalannya waktu, kita akan terus tumbuh dengan berbagai macam perasaan yang menyertai. Sesekali membenci, sesekali menginginkan pergi, kemudian mencintai setengah mati. Begitulah hidup. Ini kisah mereka, keluarga mereka. Tentang bagaimana...