41 | Sama-Sama Percaya

163 27 92
                                    

Seperti janjinya tadi, Hiroki benar-benar mengajak Akira untuk pulang bersama. Padahal perempuan itu tidak sedang membawa mobil, tapi tidak apa-apa. Justru itu keinginan Hiroki. Dia ingin pulang sekolah menaiki transportasi umum bersama Akira. Katanya, dia ingin merasakan bagaimana rasanya bepergian menaiki transportasi umum bersama seorang Ibu. Hmm.

“Oh iya, trus Chichi mana? Tadi dia katanya mau pulang bareng juga soalnya.” Akira baru ingat bahwa keponakannya itu tadi mengatakan ingin pulang bersama.

“Udah Hiro suruh pulang duluan tadi, Bun, bareng anak-anak kelasnya,” jawab Hiroki ringan.

“Loh, kenapa?”

“Kan Hiro mau berduaan sama Bunda. Kalau Chichi ikutan bakalan rusuh ntar. Momen Hiro sama Bunda nggak ada karena Chichi bakal memonopoli Bunda buat dirinya sendiri,” cerita Hiroki yang terdengar seperti sebuah bentuk kecemburuan.

Akira jadi terkekeh mendengarnya. “Trus dia mau gitu aja? Tumben nurut.”

“Enggak lah. Harus nyogok dulu dua puluh ribu. Mata duitan banget emang tuh anak. Padahal pacarnya tajir melintir tujuh turunan tujuh tanjakan tujuh belokan, tapi masih aja malakin orang lain.” Hiroki mendengus sekaligus mengomel jika ingat dua puluh ribunya melayang ke saku Chichi. Ya memang sih hanya dua puluh ribu, bukan dua puluh juta, apalagi delapan puluh juta. Tapi kan Hiroki sedang belajar berhemat. Katanya untuk membelikan hadiah sang ‘Bunda’ nanti jika sudah harinya tiba. Entah itu kapan dan entah itu hadiah apa. Ehm. Kemajuan yang pesat ya untuk hubungan Hiroki dan Akira.

“Ya udah ntar Bunda ganti deh uangnya,” kata Akira yang tidak habis pikir dengan ulah keponakannya itu. Sekaligus merasa tidak enak pada Hiroki.

Dulu sekali, Hiroki selalu berpikir bahwa Akira adalah seorang guru menyebalkan yang tidak disukainya. Jika harus meranking, pastilah Akira akan berada di nomor urutan pertama untuk kategori guru yang paling tidak disukai Hiroki. Namun coba lihat sekarang. Pemuda itu justru menempel pada Akira dan semakin menyayanginya. Ah, dunia memang berputar.

“Eh nggak usah, Bun, nggak usah. Hiro ikhlas kok. Nggak usah diganti,” tolak Hiroki buru-buru, “Lagian cuma dua puluh ribu kan, Hiro masih punya uang banyak kok. Papa kan masih kaya. Masih punya sarang duit. Sarang jamet juga. Hahaha.”

“Eh?”

Oops. Hiroki merasa harus buru-buru meralat ucapannya. Sepertinya ada yang keliru. “Tapi itu kan dulu. Kan sekarang Papa udah punya pawang. Papa udah punya Bunda. Jadi aman deh dari kontaminasi jamet-jamet. Hehe.”

Mau tidak mau Akira terkekeh mendengarnya. Ya iya sih memang. Mau sekeras apapun dia menolak, kenyataannya tidak berubah. Masa lalu Taka memang penuh dengan kehadiran perempuan yang mungkin Taka sendiri tidak mampu mengingatnya karena saking banyaknya. Namun, Akira percaya bahwa segala sesuatu pasti bisa berubah. Termasuk kebiasaan Taka. Dan tentu Akira percaya―karena memang dia harus percaya―bahwa Taka bisa berubah menjadi lebih baik ketimbang sebelumnya. Terlebih dalam urusan perempuan.

“Bisa aja kamu, Ki,” ucap Akira kemudian. Ngomong-ngomong, mereka sudah sampai depan gerbang sekolah. Akira sempat menganggukkan kepala dan melempar senyum kepada seorang satpam sekolah yang bertugas sebelum akhirnya kembali melangkahkan kakinya untuk berbelok menuju halte.

“Tapi serius, ya, Bun, Papa tuh sekarang udah nggak kayak dulu lagi. Dia jadi lebih anteng gitu sejak ada hubungan serius sama Bunda. Kayak apa yaa... kayak orang bener gitu. Ya gitu lah pokoknya,” Hiroki berpendapat, “Nyebelinnya udah rada berkurang dikit-dikit. Cuma gobloknya aja yang masih subur,” lanjutnya masih berpendapat soal tingkah sang Papa yang sedikit banyak telah mengalami perubahan.

“Hus, nggak boleh ngomong gitu,” tegur Akira. Meskipun sebenarnya dalam hati turut membenarkan bahwa Taka memang seperti itu.

Hiroki meringis lebar. Akira jadi teringat Taka. “Hehehe iya, Bundaaa. Cuma bercanda kok hehehe,” ucapnya.

Growing Up (Vol. 02)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang