34 | Anggap Saja Cemburu

188 26 69
                                    

Semesta mungkin sedang bermain-main untuk membuat dongkol hati Akira. Seolah tidak cukup dengan membuat si putihnya mogok di pinggir jalan, kini perempuan itu harus dipertemukan kembali dengan si tengil maha menyebalkan. Siapa lagi jika bukan duda satu anak bernama Bakahiro Moriuchi itu.

“Kenapa masih disini? Udah sana pergi,” usir Akira ketus.

Taka hanya menyengir lebar, “Cantika jangan ketus-ketus gitu dong, kan saya kesini mau bantuin. Saya mau jadi Superhironya Cantika. Hehehe.”

Akira yang masih berdiri di depan mobilnya hanya melengos. Entah dia harus memaki kesal pada siapa, yang jelas hari ini benar-benar hari sialnya. Setidaknya begitu menurut dirinya sendiri. Siang-siang begini, dia harus dihadapkan pada kenyataan bahwa mobilnya mogok. Padahal dia baru setengah jalan. Belum lagi ponselnya yang sudah kehabisan daya, dia jadi tidak bisa menghubungi siapa-siapa.

Namun sepertinya semesta berbaik hati untuk memberikan pertolongan lewat seseorang. Taka yang kebetulan melintasi daerah itu segera menepikan mobilnya di depan mobil Akira. Mungkin dia akan datang sebagai malaikat penolong atau sebagai Superhiro―seperti apa yang dia bilang barusan―seandainya Akira tidak lebih dulu melabelinya sebagai laki-laki sinting pengganggu.

“Ya udah lah, Bu, mobilnya ditinggalin disini aja. Ntar biar saya telfonin jasa derek mobil. Trus Ibu pulangnya sama saya. Saya anterin utuh sampe rumah. Janji saya, nggak bohong.” Sejak dia tahu bahwa mobil Akira mogok, Taka terus mengatakan kalimat yang sama.

“Kamu tuh kenapa sih suka maksa banget jadi orang?” Akira masih saja berada dalam mode sewotnya. Entah memang sudah bawaan sejak lahir atau hanya saat bersama Taka saja dia menjadi sewot begitu. Namun sepertinya lebih tepat pada opsi yang kedua.

“Ya saya kan cuma mau nolongin Bu Akira maksudnya. Masa sih saya mau ninggalin cewek cantik sendirian di pinggir jalan begini? Ya nggak mungkin lah. Lagian kayaknya kita emang beneran jodoh deh, Bu, sampai-sampai kemanapun saya pergi pasti ketemu terus sama Ibu. Kasarannya gini deh, sejak mobil Bu Akira mogok tadi, ada nggak orang lain yang nyamperin Ibu kesini? Nggak ada, ‘kan? Sampai kemudian saya lewat sini dan nemuin Ibu disini. Yang kaya gitu apa namanya kalau bukan jodoh? Pertemuan kita tuh emang udah ditakdirin sama Allah.” Taka menjeda kalimatnya sebentar untuk mengambil napas. Baru setelah itu dia melanjutkan, “Jadi kesimpulannya, mari pulang bareng aja, jodohku. Hehehe.”

Semilir angin sore berhembus pelan. Memainkan anak rambut sebahu Akira yang berwarna sehitam arang. Di depannya, Taka masih memasang raut wajah penuh harap. Membuat Akira mau tidak mau berpikir keras. Sesaat dirinya dilanda bimbang. Pikirannya sibuk menimang-nimang, apakah dia harus menyetujui ajakan Taka atau tidak. Sebenarnya tawaran Taka ada baiknya juga. Daripada dia terlunta-lunta di pinggir jalan seperti ini, lebih baik dia mengiyakan ajakan laki-laki itu.

Namun jika ingat bagaimana kalimat hiperbola Taka barusan, tiba-tiba dia mendengus kesal. Jodoh apaan, sih? Pertemuan yang ditakdirkan Allah apaan, sih? Kenapa juga Taka harus menyelipkan kata-kata seperti itu? Membuat kesal saja. Sesaat merutuki sikap Taka yang selalu saja menyebalkan, sebuah pemikiran konyol melintas di benak Akira.

“Eh, jangan-jangan malah kamu ya yang sengaja apa-apain mobil saya?” tuduh Akira tiba-tiba. “Kamu pasti yang apa-apain mobil saya tadi. Trus sok-sokan dateng jadi superhiro. Sok-sokan mau nganterin saya pulang. Ini pasti rencana jahat kamu, ‘kan?” Tuduhan Akira semakin menjadi-jadi. Ckck, perempuan itu jadi gelap mata hanya karena menuruti pikiran buruknya sendiri.

“Ck, Cantika mah gitu ya. Saya emang superhiro beneran kali, bukan sok-sokan mau jadi superhiro,” Taka membela diri, “Lagian rencana jahat apaan sih, Bu? Kalau emang saya gitu, kapan coba saya ngapa-ngapain mobilnya Bu Akira? Udah jelas-jelas Ibu dari sekolah, trus saya dari rumah. Kapan coba saya sempat ketemunya sama mobil Ibu?”

Growing Up (Vol. 02)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang