Seven

167 13 2
                                    

Jadwal mata kuliah kelas B hari ini hanya jam 07.00 pagi. Semester satu memang tidak seganas semester tua, mereka masih memiliki kelonggaran tugas dan lain-lain. Juga para mahasiwa baru di awal semester ini sangat rajin, kelas sudah ramai sebelum waktunya.

Vandella berangkat dan sampai dikampus pada pukul 06.35 masih terbilang pagi dan lingkungan kampus cukup sepi hanya dipenuhi mahasiswa baru yang berlalu lalang. Dia linglung mencari ruang kelasnya, menaiki anak tangga menuju lantai dua. Vandella melihat seseorang yang berdiri menyandarkan tubuhnya di dinding sambil membaca buku dan sesekali menduguk air yang berada di tangan kanannya. Mata Vandella memang minus jadi jika melihat dari kejauhan memang tidak terlalu jelas.

Vandella menghampiri laki-laki yang bertubuh jangkung itu tingginya sekitar 180 cm. Vandella berdiri tegap dan mendekap buku di dadanya.

"Permisi, ruangan B302 dimana ya?"

Pria tersebut menegakkan kepalanya kemudian menutup bukunya. Matanya sangat gelap, hidungnya tegak dan memiliki kumis tipis. Vandella mendongakkan kepalanya menatap pria itu karena tinggi Vandella hanya sedada pria itu. Pria tersebut menuntun Vandella menuju ruangan B302, Vandella mengekori pria itu dan bertanya-tanya dalam hati mengapa dia tidak menunjukkan arahnya saja.

"Kelas lo disini," Dia menghantarkan Vandella sampai ke pintu kelas.

"Makasih, o iya kakak angkatan berapa?" Vandella takut salah panggil jika ia berbicara formal.

"2019." jawabnya dingin dan pergi begitu saja.

Sontak Shania yang tadinya tengah berbicang-bincang dengan teman sekelasnya, melihat Vandella bersama seorang pria lantas berteriak dan menghampiri Vandella. Vandella tidak menanggapi Shania, dia terus berjalan menuju kursinya. "Dell seriusan lo dianterin sama Sean?"

"Namanya Sean ya?"

"Lo nggak tau apa, kalau Sean Nicholas Ariksa itu Mahasiswa undangan yang dapet nilai paling tinggi diantara kita seangkatan."

Vandella hanya menanggapi biasa saja, karena hal seperti itu tidak ada kaitannya dengan dirinya. Paling pertemuannya dengan Sean hanya sebatas hari ini.

"Tapi lo beruntung banget bisa dianterin Sean,"

"Maksud lo?"

"Astaga Dell, lo kudet banget sih! Sean itu orang yang nggak pernah berbicara sama perempuan."

"Terus ngapain coba dia bicara sama gue plus nganterin lagi," timpal Vandella yang sangat bodoh ini.

Ingin sekali rasanya Shania menjambak rambut Vandella saking bodohnya. "Ya karena lo dianterin itu gue kaget geblek!" Shania meremuk-remukkan kertas yang ada ditangannya, hingga pembicaraannya mereka terhenti ketika Bu Cia memasuki kelas.

Bu Cia mengabsen satu-persatu Mahasiswa ketika nama Evano terpanggil tidak ada tanda-tanda bahwa ia berada dikelas, bahkan temannya pun tidak mengetahui keberadaannya.

"Evano kemana, ada yang tau?" tanya Bu Cia ke seantero kelas. Semua mata tertuju kepada Kenan.

"Kamu tau Evano kemana?" sambung Bu Cia bertanya kepada Kenan.

"Saya nggak tau Bu, soalnya saya nggak saudaraan sama dia."

Bu Cia menggeleng-gelengkan kepala, "Jawaban anda seperti anak TK, jangan diulangi lagi," tegurnya. Kenan hanya diam menundukkan kepala serta seluruh mahasiswa dikelas ikut diam. Mereka menerka bahwa Bu Cia adalah dosen killer.

Jam pelajaran sedikit hening, hanya terdengar celotehan pasal-pasal dari Bu Cia. Pikiran Vandella tidak fokus untuk belajar, dia memikirkan kebolosan dari Evano yang tidak masuk akal, padahal malam tadi ia usai menemani Evano mencari kado untuk Mamanya, lantas alasan apa yang membuatnya bolos?

Vandella [ Completed ] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang