Fourteen

148 8 0
                                    

"Lo dimana?"

"Gue udah di depan kantor pengadilan negeri,"

Selang beberapa menit kemudian, Evano datang. Jam karet benar-benar berlaku bagi masyarakat Indonesia, tak terkecuali Evano. Dia bilang kalau datang on time nyatanya bertingkah sebaliknya. Datang telat, merasa tidak bersalah, itu bisa menggambarkan keadaan saat ini.

Vandella menatap sinis Evano, dengan tangan bersilang dada. Evano hanya tersenyum sumringah kemudian merangkul Vandella seperti kawan akrab. "Santai bro! Jangan muka tegang gitu."

"Santai ? Nyenyak tidurnya ya? Katanya jam sembilan lo malah dateng jam setengah sebelas." dari nada bicara Vandella, ia benar-benar kelihatan kesal.

"Kayak lo nggak tau aja kebiasaan orang Indonesia."

"Perubahan itu harus dimulai dari kita! Nyesel gue satu kelompok sama lo." Vandella melepas rangkulan Evano dan berjalan mendahului Evano.

Mereka mengelilingi kantor pengadilan negeri tersebut, Vandella dan Evano berputar-putar mencari ruangan yang tengah melaksanakan sidang. Akhirnya mereka menemuinya. Mereka datang tidak terlalu telat, karena pada saat mereka masuk Panitera baru mulai berbicara.

Kasus yang mereka temui hari ini yaitu tentang kasus perceraian. Bagi Evano itu kali pertama baginya menyaksikan sidang, namun untuk Vandella, dia sudah pernah menyaksikan sidang. Sidang perceraian orang tuanya beberapa bulan yang lalu.

Mendadak memorinya  beralih, pikiran Vandella melayang, tidak fokus pada penyajian Hakim, melainkan lingkup meja hijau tersebut membuat Vandella mengingat Papanya. Saat ketukan palu Hakim berdentang tiga kali, air matanya ikut bercucuran, dimana disaat itu orang tuanya resmi berpisah. Evano yang tadinya fokus menyaksikan persidangan, tiba-tiba melihat pipi Vandella basah.

"Dell?" ucap Evano sambil memegang pundak Vandella. Vandella menoleh kearah Evano. Vandell sungguh tidak sadar kalau dirinya menangis.

Evano mengusuap air mata Vandella dan membuat Vandella kaget. "Ngapain sih megang pipi gue?" tepis Vandella.

"Harusnya gue yang nanya, kenapa lo nangis?"

"Nangis?"

Evano melihatkan jari jempolnya yang sedikit basah usai mengusap air mata Vandella. Melihat itu, spontan ia mengusap pipinya membersihkan sisa air mata yang masih ada. Kemudian membuang muka, berpura-pura fokus memandang kedepan karena malu.

***

Usai persidangan, rasa lega menyemangati mereka. Tugasnya dengan Pak Anton sudah tercicil. Wajah Vandella benar-benar terlihat sangat senang, dia terus bersenandung sepanjang jalan. Begitu juga Evano, ia mengikuti alunan lagu dari Vandella sembari bergurau.

Stasiun KRL lumayan padat. Orang-orang terlihat sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. "Lo ngapain ngikutin gue?" karena biasanya Evano selalu menggunakan kendaraan, hal itu sempat membuat Vandella bingung.

"Motor gue di bengkel."

Vandella hanya mengangguk, "Lo mau kemana?"

"Mau ke toko buku, kenapa?" tanya Vandella.

"Gue ikut ya?"

"Ngapain?"

Belum sempat Vandella mendengar alasan dari Evano, lengannya sudah ditarik, diajak berlari mendekati kereta yang baru sampai. Alasannya buru-buru menaiki kereta api tersebut agar nantinya bisa duduk, sayangnya banyak para lansia, ibu hamil yang pantas memiliki hak tersebut. Akhirnya Evano dan Vandella berdiri diantara bebrapa kerumunan orang.

Mereka berdiri dengan jarak cukup jauh, tempat Vandella berdiri cukup padat, sehingga ruang untuk bergerak agak sulit. Evano mendekati Vandella dan memaksa menyusup berdiri di dekat Vandella.

Vandella [ Completed ] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang