Twenty

116 10 0
                                    

Udah fase yang ke-20 :) selamat membaca!

_________

"Udah bro, pulang aja! Mama lo nelfon gue dari tadi nih," ajak Azam.

"Ambilin gue wine dong!" pinta Evano setengah sadar, tubuhnya sudah oleng,terkadang dia menabrakkan tubuhnya ke meja-meja. 

Malam ini, Evano, Azam, Kenan memang sudah janjian dibar, merayakan masa-masa terkelam selama kurang lebih seminggu ini, karena ujian akhir semester sudah berakhir tadi siang. Hanan berhalangan hadir, karena dia ada janji dengan pacarnya. Tepat sekarang jam menunjukkan pukul 23.45 malam, sebenarnya mereka berencana akan pulang saat subuh, tetapi karena Mamanya Evano meminta dia pulang, dengan terpaksa Azam dan Kenan membopong Evano pulang yang sudah larut dalam mabuknya. 

"Ni anak kalau mabuk nggak tau diri lagi," umpat Kenan, tubuhnya pun mengikuti alur gerak-gerik Evano. 

"Sabar bro, lo kayak nggak tau aja kalau si Vano mabuk kayak gimana."

Tiba-tiba saja, ada suara perempuan yang menyapa mereka, sontak mereka menoleh ke sumber  suara. Gadis itu tau kalau saja pria yang mereka sapa Azam dan Kenan, tapi dia tidak tau kalau yang diboyong adalah Evano. "Kenan, Azam ngapain kalian disini."

Mereka menoleh dengan ekspresi kaget, "Della?" diam sejenak menggambarkan keadaan saat itu, Kenan angkat bicara kembali "Lo yang ngapain disini, udah malam loh ini, nggak baik buat cewek."

"Gue habis dari kampus, ada kegiatan, terus ke mini market sebelah. Tau-taunya gue lihat kalian dari jauh," jelas Vandella, kemudian menunjuk Evano yang tengah menunduk, Vandella penasaran, karena wajahnya juga tidak terlalu jelas. Azam dan Kenan berusaha keras melarang Vandella mendekati mereka.

 "Pulang gih, udah malam." ucap Azam.

Vandella tidak menggubris ucapan Azam, dan malah mendekat kemudian membungkukkan badanya, melihat wajah yang tengah diboyong itu. Seketika itu Vandella menutup mulut dengan kedua tangannya, dia juga terganggu oleh bau alkohol nan begitu pekat. "Vano!"

Evano menyahut seraya tertawa kecil, dia sungguh dalam keadaan tidak sadar tingkat dewa. "Lo Della ya?"

"Ngapain lo mabuk kayak gini? Ya ampun,"

"Gue seneng lo disini,"

"Tapi gue nggak suka lihat lo kayak gini,"

"Gue kayak gini karena lo,"

Vandella terdiam, kemudian memegang kepalanya, dia mendesah kecil. "Gue nggak suka lo kayak gini, semua hal nggak bakal terselesaikan dengan hal kayak gini."

"Gue juga nggak suka kalau lo ngejauhin gue, jadinya gue nggak bisa lihat lo lagi." 

"Tapi Vano, semua itu –"

"Demi kebaikan kita? mungkin kalau itu bikin lo bahagia gue bakal nurutin," tukas Evano, dia tertawa kecil, karena masih pengaruh alkohol.

Vandella menanggapi hal itu dengan serius, dia berpikir  dengan apa yang diucapkannya ketika acara di kepanitiaan bisa membuka jalan pikiran Evano untuk berusaha mengubah situasi, namun nyatanya Evano juga menyikapinya dengan serius. Vandella terlihat kesal, dia langsung membalikkan badan. Azam dan Kenan saling menatap, setelah mendengar semuanya. Mereka hanya bisa diam, tidak bisa membantu, karena Evano jarang menceritakan masalah pribadinya kepada orang lain.

***

Mobil yang dikendarai oleh Kenan sampai dirumah Evano, Dena membuka pintu rumah dan menyuruh mereka masuk, mereka memboyong Evano ke kamar. Biasanya tiap kali ke rumah Evano pasti bakal terlihat berantakan, namun semenjak dua bulan ini tidak lagi, karena Dena yang biasa menghabiskan waktunya dengan minuman keras, dan juga rokok yang selalu menghiasi bibirnya kini sudah lenyap. Dena sudah tidak lagi mengonsumsi hal semacam itu, dia berusaha keras berubah demi Evano.

"Makasih ya udah bantuin tante,"

"Iya, sama-sama tante, tapi tumben nih tante nyuruh Evano pulang kayak gini?" tanya Kenan heran, biasanya jika Evano dengan mereka, Dena akan membiarkan Evano bersama dengan teman-temannya.

"Papanya Evano mau kesini, paling nanti subuh nyampe sini. Makanya Evano tante suruh pulang." 

"Ooo.. gitu, kalau gitu kita pamit dulu tante,"

"Iya, hati-hati di jalan ya."

***

Evano mengusap-usap matanya, mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Dia merasa heran, mengapa dia sudah berada dirumah saja. Evano duduk, mengumpulkan tenaganya, dia pasrah untuk mengingat kejadian semalam.

Jam dinding kamarnya sekarang berada pada jarum 07.00 pagi, ini adalah jadwal sarapan. Untuk tidak merepotkan Dena, ada inisiatif tersendiri baginya. Semua makanan sudah tertata dengan rapi.

"Tumben udah bangun, biasanya dibangunin."

"Vano nggak mau ngerepotin mama terus," Evano mengambil posisi duduknya.

"Bisa aja kamu."

Kursi di depan Evano bergerak, dia mendongakkan kepalanya, kagetnya bukan setengah-setengah saja, hingga mata Evano benar-benar tidak berkedip. Akhirnya dia angkat bicara, "Papa?"

Henri tersenyum, kemudian duduk menghadap anaknya. Wajar saja Evano kaget, biasanya Henri tidak akan pulang ke rumah pada pertengahan tahun, hingga pekerjaannya selesai. Tapi kali ini suasananya berbeda.

"Tumben papa pulang?"

"Husstt! Evano, nggak baik ngomong gitu ke papa kamu!" tegur Dena.

"Papa pulang karena ada sesuatu yang perlu dibicarakan."

Evano hanya diam saja, karena efek kurangnya kasih sayang dari seorang ayah, jadi untuk berbicara dengan Henri adalah hal yang paling tercanggung baginya. Biasanya ketika Henri pulang ke rumah, bahkan Henri tidak sempat menghabiskan waktu dengan Evano, di rumah pun Henri tidak lepas dari yang namanya pekerjaan, dia selalu sibuk dengan laptopnya. Wajar saja, kalau Evano jarang bahkan nyaris tidak pernah berekspresi di depan Henry.

"Papa tau kamu mungkin canggung dengan keberadaan papa," Henri meneguk air pada gelas yang berada di sebelah tangan kanannya.

Evano tetap diam, terkadang dia memanglingkan pandangannya. "Langsung ke intinya saja, karena perusahaan tempat papa kerja meminta papa untuk pindah ke Jerman, jadi papa mau kita semua beres-beres untuk ikut pindah ke Jerman."

"PA! Kenapa mendadak begini? Pindah ke Jerman atau nggak itu nggak bakalan ngerubah situasi. Papa tetap bakal jarang pulang, dan kalau pulang pun papa tetap sibuk dengan pekerjaan papa." bantah Evano, "Vano nggak akan pergi!"

"Vano! Kamu nggak tau, papa kerja susah payah itu buat kamu, buat Mama kamu! Dimana ucapan terima kasih kamu hah!"

"Papa juga nggak tau, kalau selama papa kerja itu, kita kekurangan kasih sayang. Sejak Vano kecil nggak ada yang rangkul Vano, cuma Mama doang. Terus papa? Kemana? Percuma cari uang tapi ngasih perhatian buat keluarga aja memprihatinkan."

Plak! Tamparan keras itu mendarat di pipi Evano, pipinya terasa panas, kemudian merabanya dengan ujung-ujung jarinya. Evano tersenyum, "jadi ini yang namanya kasih sayang,"

"VANO!"

"Cukup Pa!" Dena menengahi situasi saat ini, membiarkan Evano pergi menenangkan pikirannya.

***

Dena menemui Evano di kamar, tatapan Evano begitu tajam, terlihat amarah, kesal dan juga emosi menguasai dirinya.

"Vano,"

"Mama ngapain kesini? Mau belain papa?"

Dena tersenyum, kemudian menyentuh pundak Evano, "Mama nggak ada belain siapa pun, papa atau pun kamu sama-sama orang yang mama sayangi."

"Kalau mama sayang sama aku, mama pasti nggak bakal ikutin kemauan papa buat pindah ke Jerman kan?"

"Kamu tau kan, selama tinggal di sini, kita jarang ketemu papa karena papa ditugasin untuk proyek yang nggak menetap. Jadi papa kamu udah berusaha keras agar dia bisa ditugaskan hanya pada satu tempat, dan akhirnya kantor pusat memutuskan papa bekerja di Jerman. Tujuan papa kamu pindah kerja ke Jerman itu karena kamu." Dena berusaha menjelaskan kepada Evano, dia berharap Evano bisa berubah pikiran untuk ikut ke Jerman.

___________

Yeayy! Happy reading guys ❣ Yuk, mampir juga ke ig aku @hellovannnh . Terima kasih!

Vandella [ Completed ] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang